BLOG INI ADALAH BLOG UNTUK ANDA SEMUA YANG MEMBUTUHKAN INFORMASI MENGENAI KONSELING, PSIKOLOGI, SENI DAN AGAMA.

MARI BERBAGI ILMU, PENGALAMAN DAN EKSPRESI! TEBARKAN SEMANGAT BERBAGI

Senin, 27 Juli 2009

Busana Islami

Bagaimana Busana yang Islami?

Apakah hijab (jilbab) merupakan busana yang mutlak atau yang relatif ditentukan oleh tradisi ( 'urf)?

Hijab dalam syariat mempunyai aturan-aturan tertentu yang tidak diabaikan oleh tradisi ( 'urf) .Yaitu, hendaklah wanita menyembunyikan (menutupi) tubuhnya selain wajahnya dan kedua telapak tangannya, dan ia tidak boleh keluar rumah dengan menampakkan perhiasannya dengan gaya berdandan seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Adapun mengenai bagaimana bentuk hijab, dan bagaimana pakaian yang harus dipakainya, maka hal ini kembali kepada 'urf (tradisi) dan kembali kepada wanita sendiri.

Karena itu, busana syar'i (islami) merupakan gaya pakaian yang biasa digunakan di pelbagai negara. Misalnya, orang-orang Arab menggunakan jubah (al-'ihaah), sedangkan orang-orang Parsi (Iran) dan selain mereka memakai cadar panjang yang menutupi kepala sampai kaki (syadur), dan barangkali sebagian mereka menggunakan gaya pakaian syar'i. Semua masalah ini terserah kepada tradisi-tradisi yang dikenal tentang .pemakaian hijab di pelbagai negara Islam.

Apakah menurut Anda terdapat busana hijab yang diutamakan?

Pada hakikatnya kami tidak menemukan busana yang diutamakan, tetapi 'ibaah boleh jadi paling tepat sebagai penutup, karena syadur terkadang menyusahkan wanita dan memerlukan kehati-hatian penuh, yang demikian ini akan menghambat kebebasan bergerak.

Apakah busana yang menampakkan feminin wanita secara seimbang dibenarkan oleh Islam?

Pertanyaan ini sepertinya tidak dapat dijawab, karena masalah yang digelindingkan di dalamnya kabur dan tidak jelas. Apa yang membedakan keseimbangan dengan yang lainnya dalam bidang ini? Sesungguhnya keseimbangan itu relatif dalam pandangan manusia, apa yang dilihat seseorang sebagai sesuatu yang seimbang, boleh jadi akan dilihat orang lain sebagai hal yang keluar dari batas keseimbangan. Ketika kita mempelajari Al-Qur'an berkaitan dengan hal ini, maka kita akan menemukan tiga masalah: masalah perhiasan, masalah berdandan, dan masalah "akan berhasrat orang yang di dalam hatinya ada penyakit". (QS. al-Ahzab: 32)

Ketika pakaian wanita melampaui tiga masalah tersebut, dengan pengertian bahwa ia tidak berupa obyek perhiasan, dan tidak berupa dandanan yang mencolok, serta tidak merangsang syahwat, maka dalam keadaan seperti itu dapatkan dikatakan bahwa hijab (pakaian wanita) itu sesuai dengan ketentuan syariat.

Bagaimana pendapat Islam dengan hijab yang populer dewasa ini?

Boleh jadi ia adalah bentuk dandanan yang dilarang, karena secara material ia memang hijab, tetapi secara maknawi ia bukan hijab.

Apakah Islam mengharamkan pakaian yang sangat halus?

Itu tidak diharamkan, tetapi penggunaan pakaian semacam itu boleh jadi tergolong berlebih-lebihan (israj) dan terlalu mewah.

Apa yang dimaksud dengan pakaian populer (syiyab as- syuhrah)?

Yang dimaksud dengan pakaian populer biasanya adalah pakaian pria yang digunakan oleh wanita, dan sebaliknya. Atau pakaian yang tidak umum, yang menimbulkan banyak perhatian, dan seterusnya.

Mengapa Allah SWT melarang menyerupai pakaian kaum kafir pada setiap zaman?

Islam menginginkan agar manusia pada umumnya menggunakan pakaiannya yang alami, baik yang berhubungan dengan pakaian kaum pria atau pun yang berhubungan dengan pakaian kaum hawa. Dan hendaklah laki-laki tidak berpakaian dengan pakaian perempuan, dan sebaliknya. Demikian juga sehubungan dengan pakaian orang-orang kafir yang merupakan ekspresi dari identitas khusus mereka, karena Islam secara garis besar menginginkan agar kaum Muslim memiliki ciri khas tersendiri melalui pakaian mereka yang membedakan mereka dari kalangan lain (non- Muslim -pent.) .Itu tidak berarti bahwa mereka harus menolak pakaian orang-orang lain. Apabila pakaian orang-orang lain bersifat umum, maka tidak ada masalah untuk menggunakannya. Adapun bila seorang Muslim memakai pakaian orang kafir yang menggambarkan ciri khas si kafir dan ciri khas jati dirinya, maka hal ini tidak dapat dibenarkan.

Menutup Rambut Bagi Wanita

Telah menjadi suatu ijma' bagi kaum Muslimin di semua negara dan di setiap masa pada semua golongan fuqaha, ulama, ahli-ahli hadits dan ahli tasawuf, bahwa rambut wanita itu termasuk perhiasan yang wajib ditutup, tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan muhrimnya.

Adapun sanad dan dalil dari ijma' tersebut ialah ayat al-Qur'an:

"Katakanlah kepada wanita yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, ..." (QS. an-Nûr: 31).

Maka, berdasarkan ayat di atas, Allah SWT telah melarang bagi wanita Mukminat untuk memperlihatkan perhiasannya. Kecuali yang lahir (biasa tampak). Diantara para ulama, baik dahulu maupun sekarang, tidak ada yang mengatakan bahwa rambut wanita itu termasuk hal-hal yang lahir; bahkan ulama-ulama yang berpandangan luas, hal itu digolongkan perhiasan yang tidak tampak.

Dalam tafsirnya, al-Qurthubi mengatakan, "Allah SWT telah melarang kepada kaum wanita, agar dia tidak menampakkan perhiasannya (keindahannya), kecuali kepada orang-orang tertentu; atau perhiasan yang biasa tampak."

Ibnu Mas'ud berkata, "Perhiasan yang lahir (biasa tampak) ialah pakaian." Ditambahkan oleh Ibnu Jubair, "Wajah" Ditambah pula oleh Sa'id Ibnu Jubair dan al-Auzai, "Wajah, kedua tangan dan pakaian."

Ibnu Abbas, Qatadah dan al-Masuri Ibnu Makhramah berkata, "Perhiasan (keindahan) yang lahir itu ialah celak, perhiasan dan cincin termasuk dibolehkan (mubah)."

Ibnu Atiyah berkata, "Yang jelas bagi saya ialah yang sesuai dengan arti ayat tersebut, bahwa wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dirinya dalam keadaan berhias yang indah dan supaya berusaha menutupi hal itu. Perkecualian pada bagian-bagian yang kiranya berat untuk menutupinya, karena darurat dan sukar, misalnya wajah dan tangan."

Berkata al-Qurthubi, "Pandangan Ibnu Atiyah tersebut baik sekali, karena biasanya wajah dan kedua tangan itu tampak di waktu biasa dan ketika melakukan amal ibadat, misalnya salat, ibadat haji dan sebagainya."

Hal yang demikian ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma' binti Abu Bakar r.a. bertemu dengan Rasulullah SAW, ketika itu Asma' sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah SAW memalingkan muka seraya bersabda:

"Wahai Asma'! Sesungguhnya, jika seorang wanita sudah sampai masa haid, maka tidak layak lagi bagi dirinya menampakkannya, kecuali ini ..." (beliau mengisyaratkan pada muka dan tangannya).

Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW itu menunjukkan bahwa rambut wanita tidak termasuk perhiasan yang boleh ditampakkan, kecuali wajah dan tangan.
Hijab (Jilbab): Busana dan Sangkut-pautnya

Bagian tubuh mana yang harus ditutupi oleh wanita? Dan apa ayat-ayat yang terdapat mengenai hal ini?

Al-Qur'an al-Karim menunjukkan kewajiban wanita untuk menutupi tubuhnya dalam firman-Nya SWT, "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] tampak darinya. " (QS. an-Nur: 31)

Yang dimaksud dengan perhiasan di sini adalah tempat-tempatnya, bukan apa yang dijadikan perhiasan seperti gelang, kalung, anting, dan sebagainya. Dengan kata lain, yang dimaksud di sini adalah keseluruhan tubuh. Dan Allah menganggap tubuh sebagai perhiasan, adalah sebagai disparate yang jelas bahwa ia (tubuh) merupakan pusat daya tarik dan seks bagi kaum pria. Oleh karena itu, Allah SWT menginginkan agar wanita menutupinya selain apa yang tampak darinya, yaitu wajah dan kedua telapak tangan menurut sebagian pendapat, dan ditambahkan kedua kaki menurut pendapat yang lain.

Lalu, mengapa terjadi praktek penutupan wajah?
Itu termasuk hal-hal yang insidental, yang kaum Muslim terpengaruh dengannya pada saat mereka menjalin kontak dengan peradaban-peradaban lain.

Apakah istri-istri Nabi saw menutup wajah mereka dengan jilbab dan telapak tangan mereka?
Kami tidak menemukan dalil mengenai hal itu, dan barangkali kami menemukan dalil yang sebaliknya.

Kapan wanita dimaafkan (diperbolehkan) untuk tidak berjilbab?
Tidak ada suatu keadaan di mana di dalamnya wanita dimaafkan untuk tidak memakai jilbab, kecuali jika ia terancam bahaya pada saat berjilbab, atau jika ia terancam ditalak oleh suaminya, yang talak tersebut akan sangat menyulitkannya. Maka ia boleh mencopot hijab dalam batas tertentu.

Pada saat wanita kehilangan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat pria dikarenakan buruk rupa (tasy'wih) dan cacat total (al-'ajz al-kamil), maka apakah ia masih diperintahkan untuk menutup pesona fisiknya dan tidak menampakkan perhiasannya?
la tetap harus menjaga ketentuan hijab, karena syariat itu bersifat umum. Ketika ia kehilangan unsur yang merangsang dan daya tarik dalam pandangan sebagian orang, tidak berarti ia kehilangan total sifat itu.

• Pakaian
• Etika berpakaian
o Menutup aurat dengan pakaian: 7:26
• Pakaian wanita
o Wanita memanjangkan bajunya: 24:31, 33:59
o Tabarruj (menampakkan kecantikan dan perhiasan)
 Wanita yang keluar rumah dengan perhiasannya: 24:60
 Menampakkan perhiasan di depan muhrim: 24:31, 33:55
o Hijab: 24:31, 24:60, 33:53, 33:55, 33:59
o Menutup muka wanita: 24:31
o Keringanan hijab terhadap orang tua: 24:60
o Perhiasan pada pakaian wanita: 24:31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salamat menjelajahi blog saya jgn lupa komentarx oke...trimakasih atas kerjasamax.