BLOG INI ADALAH BLOG UNTUK ANDA SEMUA YANG MEMBUTUHKAN INFORMASI MENGENAI KONSELING, PSIKOLOGI, SENI DAN AGAMA.

MARI BERBAGI ILMU, PENGALAMAN DAN EKSPRESI! TEBARKAN SEMANGAT BERBAGI

Senin, 27 Juli 2009

Aqidah Islam

PENDAHULUAN

Pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantui manusia dalam hidupnya adalah dari manakah ia berada (di dunia ini), kemanakah ia akan dikembalikan kelak dan apakah tujuan dari keberadaannya ini?
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan manusia kepada dirinya sepanjang masa ini memerlukan jawaban yang jitu dan memuaskan, supaya ia, berdasarkan jawaban tersebut, dapat mengambil sikap yang tegas dalam kehidupannya, meluruskan perilakunya dan menegakkan undang-undang ideal yang diminati oleh masyarakatnya.
Dengan asumsi-asumsi hampa dan tidak memuaskan rasa haus manusia akan hakekat dan realitas hidup, akidah-akidah hasil rekayasa manusia (al-’aqa`id al-wadl’iyah) mengalami kegagalan fatal dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh akidah-akidah tersebut dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu antara lain;‘manusia ditemukan dengan sendirinya’, ‘manusia ditemukan akibat perkembangan materi’ dan lain sebagainya.
Dan kegagalan akidah-akidah itu tidak sampai di sini saja. Mereka juga gagal dalam menciptakan formulasi-formulasi undang-undang kemasyarakatan yang dapat membina manusia dan merealisasikan kebahagiannya.
Di saat akidah dan kepercayaan-kepercayaan agama yang tidak orisinil itu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan jawaban-jawaban yang palsu dan membingungkan dengan asumsinya bahwa manusia memiliki pencipta, akan tetapi pencipta yang serupa dengan makhluknya, akidah Islam telah berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jitu dan memuaskan. Akidah Islam mengakui bahwa manusia memiliki Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Kuasa yang tidak dapat dicapai dengan indra dan tidak bisa disamakan dengan manusia. Akidah Islam menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk sebuah tujuan yang tinggi, yaitu menyembah Allah yang konsekuensinya, ia akan dapat mencapai tingkat kesempurnaan dan keabadian yang tertinggi.
Di samping itu, akidah ini juga mewujudkan naluri ideal (dalam diri manusia) yang Islam menganjurkan agar naluri tersebut selalu dikembangkan demi terwujudnya manusia sempurna di bidang pemikiran, sosial dan perilaku. Begitu juga demi terwujudnya kepribadian berakidah yang berjalan sesuai dengan akal yang terarah, perilaku yang lurus dan siap mengemban missi, tidak seperti kepribadian yang mengalami kevakuman akidah, yang seluruh perhatiannya tercurahkan kepada egoisme dan kemaslahatan dirinya. Kepribadian semacam ini akan mengalami kevakuman akal, kemelut jiwa dan kehilangan tujuan dalam hidup.
Patut untuk diingat di sini bahwa akidah Islam bukan seperti akidah (yang didefinisikan oleh) para filsuf yang tidak lebih dari sekedar teori pemikiran yang tersembunyi di sudut-sudut otak manusia. Akan tetapi akidah Islam adalah sebuah power yang (bersemayam dan) bergerak di dalam hati dan berpengaruh secara positif pada jiwa dan anggota badan. Dengan ini, orang yang memiliki akidah akan terdorong untuk berkiprah di medan jihad dan amal. Atas dasar ini, akidah Islam (pada masa kejayaan Islam) telah menjadi sebuah kekuatan yang aktif dan motor penggerak (bagi muslimin) yang telah mampu mengubah perjalanan sejarah, merombak kebudayaan-kebudayaan (yang berlaku kala itu), meletuskan revolusi-revolusi agung dalam kehidupan manusia, baik di bidang tatanan hidup sosial maupun pemikiran dan menciptakan kemenangan militer. Telah kita ketahui bersama bahwa kelompok minoritas (muslim) Makkah yang tertindas telah mampu bertahan selama tiga belas tahun menghadapi kelaliman yang melanda mereka bagai topan dengan akidah tersebut.
Akidah inilah yang telah berhasil mengumpulkan tentara sebanyak sepuluh ribu orang untuk berkhidmat kepada Rasulullah saww yang sebelumnya beliau tidak memiliki kekuatan militer dan lari dari Makkah secara sembunyi-sembunyi karena diusir oleh orang-orang kafir Makkah -. Dan orang-orang yang memerangi beliau sepanjang masa itu tidak mampu bertahan menghadapi kekuatan iman yang kokoh ini. Oleh karena itu, mereka menyerah dan menyatakan keislaman mereka di hadapan beliau atau membayar jizyah.
Muslimin kala itu memiliki sarana kemenangan yang paling kuat, yaitu akidah Islam yang telah mampu menciptakan hal-hal yang tidak dipercayai oleh manusia biasa. Akidah ini telah memberanikan Hamzah untuk memimpin Sariyah pertama Islam yang hanya berkekuatan tiga puluh pasukan berkuda ketika menghadapi tiga ratus pasukan berkuda Quraisy di pinggiran Laut Merah. Sariyah Islam ini tidak keluar ke medan laga hanya demi memamerkan kekekaran tubuh. Sariyah ini memiliki semangat juang tinggi yang hanya ingin bertujuan menumpas musuh yang kekuatannya lebih besar sepuluh kali lipat dari kekuatan dirinya.
Dan belum pernah terjadi dalam sejarah pertempuran-pertempuran Islam yang selalu menghasilkan kemenangan-kemenangan gemilang itu, kekuatan muslimin secara materi setara dengan kekuatan musuh. Akan tetapi, dari sisi jumlah dan prasarana, kekuatan mereka terkadang hanya seperlima lebih kecil dari kekuatan musuh. Kemenangan yang mereka peroleh itu bersumber dari kekuatan spiritual yang terpancar dari akidah dan kekuatan-kekuatan ghaib yang turun kepada mereka secara kontinyu. Sarana dan prasarana materi hanyalah pelengkap kemenangan tersebut.
Dengan ini, akidah adalah kekuatan yang fundamental dalam setiap pertempuran (yang pernah terjadi pada masa kejayaan) Islam dan faktor utama terwujudnya kemenangan di segala bidang.
Dan supaya kita mampu mewujudkan sebuah kebangkitan peradaban di dalam diri setiap individu muslim, (salah satu cara yang efektif adalah) kita mengingatkannya akan persembahan-persembahan yang telah dianugerahkan oleh akidah Islam ini kepada masyarakat muslim masa lampau.
Betul, bahwa seorang muslim tidak akan melucuti akidahnya dari sanubarinya. Akan tetapi, dikarenakan adanya perang pemikiran yang menyerang akidah tersebut dan faktor-faktor dekadensi moral yang menyerang masyarakatnya sebagai akibat dari jauhnya mereka dari kultur dan ajaran-ajaran langit, akidah tersebut akan kehilangan fungsi, dan ia akan kehilangan rasa solidaritas sosial dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah :
Pertama, mengenalkan setiap individu muslim dengan akidah yang benar lewat sumber-sumbernya yang bersih dan suci.
Kedua, meyakinkannya akan kebenaran akidah yang dimiliki, validitas akidah tersebut untuk dipromosikan di zaman modern ini dan keunggulannya secara mutlak atas akidah-akidah yang lain.
Ketiga, berusaha untuk memulihkan kembali peran akidah dalam membina manusia muslim supaya akidah tersebut merasuk ke dalam sanubarinya berbentuk sebuah iman yang kokoh, perilaku yang baik dan akhlak yang terpuji dalam perangainya sehari-hari, sebagaimana akidah tersebut telah mempengaruhi cara hidup muslimin terdahulu dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
Untuk merealisasikan tujuan ini, kami angkat pembahasan yang meliputi peranan akidah dalam membina manusia, baik secara pemikiran, tata cara kehidupan sosial dan kejiwaan, dan refleksi-refleksinya terhadap etika dan perilaku seorang muslim ini ke permukaan. Dan di dalam buku ini kami juga memaparkan peran Ahlul Bayt a.s. yang besar dalam memelihara akidah dan memerangi usaha-usaha (sebagian orang) yang ingin melupakan muslimin (terhadap arti hidup) yang sedang menimpa masyarakat muslim dalam dunia politik di masa kini.

BAB I
PEMBINAAN PEMIKIRAN


Membebaskan Akal Manusia
Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk yang mulia. “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”.[1]
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kelayakan untuk mencapai derajat yang tinggi. Allah berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.[2]
Di samping manusia memiliki kelayakan di atas, ia juga bisa menyamai kedudukan binatang. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya, ia mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia mengulurkan lidahnya (juga)”.[3]
Lebih dari itu, ia bisa sejajar dengan benda mati. Allah berfirman: “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi”.[4]
Atas dasar itu, akidah Islam memperhatikan kedua faktor kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh manusia itu.
Alquran memandang manusia sebagai makhluk yang lemah, gelisah (keluh kesah), tergesa-gesa, condong melampaui batas, lalim dan bodoh.[5]
Atas dasar itu, Islam tidak memaksanya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban berat yang melampui batas kemampuannya, baik secara lahiriah mapun batiniah. Allah berfirman:
لاَيُكَـلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
(Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).[6]
Rasulullah saww bersabda : “Ada sembilan perkara yang dimaafkan atas umatku: kesalahan (yang tidak disengaja), kelupaan, sesuatu yang dipaksakan kepada mereka (untuk mengerjakannya), sesuatu yang mereka tidak tahu, sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan, sesuatu yang mereka terpaksa melakukannya, hasud, kegegabahan (kurang hati-hati) dan merenungkan ciptaan semesta dengan disertai keraguan selama mereka belum mengungkapkannya dengan perkataan”.[7]
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
(Tiga orang terbebaskan dari kewajiban: orang gila hingga ia sembuh, orang tidur hingga ia bangun dan anak kecil hingga ia dewasa).[8]
Dengan demikian akidah Islam menganggap bahwa faktor-faktor kelemahan yang terdapat dalam dalam diri manusia adalah satu hal yang lumrah dan muncul bersama penciptaannya sebagai manusia, bukan satu realita yang dapat membasmi kebebasan memilih dan kemampuannya untuk membentuk diri dan bergerak leluasa.
Oleh sebab itu, karena akidah Islam ingin membina manusia yang sempurna, maka ia berusaha untuk menfokuskan perhatian manusia terhadap sisi positif dari keberadaannya (dan melupakannya dari faktor kelemahan yang dimilikinya).


Kesalahan bukan Karakter Inheren Manusia
Dari sisi lain, akidah Islam memandang kesalahan bukan karakter inheren manusia. Kesalahan adalah sebuah realita yang berada di luar diri manusia. Oleh karena itu, ketika manusia jatuh ke dalam jurang kesalahan, ia tidak akan berubah menjadi syetan yang tidak mungkin menjadi manusia kembali. Akan tetapi, ia tetap menyandang gelar manusia, manusia yang bersalah, dan pintu taubat masih terbuka lebar baginya guna memperbaiki kesalahannya itu.
Ini adalah rahasia pandangan Islam yang agung terhadap manusia. Islam tidak menakut-takutinya dengan teori keinherenan kesalahan, sebagaimana yang diyakini oleh para pemeluk agama Kristen. Islam selalu berusaha untuk mengeluarkan manusia dari lembah kesalahan, mendorongnnya untuk selalu mengangkat nilai dirinya dan mengingatkannya akan luasnya ampunan dan rahmat Allah sehingga ia tidak putus asa darinya.
Di dalam Islam tidak terdapat “kursi pengakuan dosa”, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran umat Kristen. Sebaliknya, ulama Islam selalu menganjurkan kepada kita untuk menutupi aib dan dosa-dosa orang lain sebisa mungkin, karena Allah SWT menyukai hal itu.
Al-Ashbagh bin Nabatah berkata: “Seseorang datang kepada Amirul Mukminin a.s. seraya berkata: `Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah diriku ini`. Amirul Mukminin a.s. berpaling darinya, kemudian berkata kepadanya: `Duduklah!` Setelah itu beliau menghadap kepada hadirin seraya berkata : `Ketika salah seorang dari kalian mengerjakan kejelekan ini (zina), apakah ia tidak mampu untuk merahasiakan perbuatan tersebut sebagaimana Allah telah merahasiakannya?`”[9]


Manusia adalah Makhluk Mulia
Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia yang memiliki kedudukan penting di jagad raya ini. Hal ini dapat diketahui dari kepercayaan Allah kepadanya untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Oleh karena itu, selayaknya ia melaksanakan tugas tersebut sebaik-baiknya dan bersyukur kepada-Nya atas anugerah agung dan hidayah memeluk agama yang benar ini.
Seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin a.s.: “Mengapa anda cinta untuk bertemu Allah?” Beliau menjawab: “Tatkala aku melihat bahwa Ia telah menganugerahkan kepadaku agama para malaikat, rasul, dan nabi-Nya, aku tahu bahwa Dzat yang telah memuliakanku dengan agama ini, tidak akan melupakanku. Oleh karena itu, aku rindu untuk menjumpai-Nya”.[10]


Poin-poin Pembebasan
Akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia melalui beberapa poin di bawah ini:

Pertama, akidah Islam telah berhasil membebaskan manusi dari penindasan politik. Islam tidak merestui seseorang menindas sesamanya atau satu golongan menghina golongan yang lain.
Sepanjang sejarah, Islam adalah faktor utama bagi munculnya gerakan-gerakan kemerdekaan dan kebebasan. Bagaimanapun pandangan seseorang terhadap agama, ia tidak akan dapat melupakan faktor agamis dan pengaruhnya dalam memunculkan kesadaran revolusioner (al-wa’y al-tsauri) sepanjang sejarah Islam. Pemberontakan Abu Dzar r.a. dan revolusi Imam Husein a.s. (terhadap rezim berkuasa kala itu) tidak lain adalah satu titik tolak kesadaran umat untuk meluruskan penyelewengan-penyelewengan yang menimpa sejarah Islam. Betapapun banyaknya penyelewengan yang telah menimpa muslimin sepanjang sejarah, akan tetapi hal itu tidak mampu membasmi semangat revolusioner para pemeluk agama suci ini yang senantiasa berusaha memulihkan kembali agama tersebut (sehingga dapat berkiprah dalam kehidupan sehari-hari), membasmi kezaliman dan menjunjung tinggi hak-hak dan kehormatan seorang muslim.[11]
Di samping missi pembebasan di atas, akidah Islam juga telah berhasil membebaskan manusia dari kebiasaan menuhankan manusia yang lain, seperti pemujaan dan penyembahan raja dan kabilah-kabilah yang berkuasa. Hal ini adalah sebuah tradisi yang berlaku di kalangan sebagian umat-umat terdahulu, seperti penduduk Mesir kuno.
Begitu juga Islam telah berhasil melenyapkan sistem pembedaan suku umat manusia, baik yang dilandasi dengan keturunan, bahasa, warna kulit, harta atau kekuatan. Tolok ukur keutamaan dalam Islam terbatas pada karakter-karakter spiritual, yaitu taqwa dan fadhilah.
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى وَ جَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَ قَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal).[12]
Islam telah mengumandangkan semboyan kemerdekaan dan kebebasan dua puluh abad sebelum revolusi Perancis muncul.
Amirul Mukminin, Ali a.s. berkata di dalam sebuah khotbahnya:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ آدَمَ لَمْ يَلِدْ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً، وَإِنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَحْرَارٌ ...
(Wahai manusia, sesungguhnya Adam tidak melahirkan budak dan sahaya. Dan sesungguhnya seluruh manusia adalah merdeka).[13]
Hanya saja, Islam tidak memberikan kebebasan mutlak kepada manusia. Karena hal itu akan menyebabkan manusia bebas berbuat sesuka hatinya. Islam menentukan batasan-batasan yang jelas bagi kebebasan tersebut sehingga tidak terjadi kekacauan.
Dari sini, tampak jelas perbedaan antara akidah Islam yang mengikat kebebasan manusia dengan penghambaan kepada Allah, tunduk dan taat terhadap kekuasaan-Nya (kebebasan terikat) dan undang-undang hasil rekayasa manusia (al-qanun al-wadl’i) yang (dengan kebebasan mutlak yang diberikan kepadanya) ia telah menjerumuskan manusia ke dalam jurang kebingungan yang tidak sejalan dengan kemampuan dan tuntutan ciptaannya.
Harus ada keseimbangan antara kebebasan dan penghambaan. Dan hal tersebut hanya dapat kita temukan di dalam Islam;penghambaan kepada Allah dan bebas dari penghambaan kepada selain-Nya. (Dalam pandangan Islam), kebebasan seorang hamba tidak mungkin sempurna kecuali dengan penghambaan kepada Allah, dan penghambaannya kepada Allah tidak mungkin sempurna jika ia tidak membebaskan diri dari menghamba kepada selain-Nya.
Dari teori kebebasan semacam ini, terwujudlah keseimbangan dan keserasian antara sisi sosial dan sisi iman seorang muslim.[14]
Dengan ini, akidah Islam menganggap penghambaan kepada Allah SWT semata sebagai inti kebebasan yang hakiki. Hal ini dikarenakan penyembahan kepada Allah adalah pembebasan diri dari seluruh kekuasaan orang-orang lalim. (Dan perlu diingat), penghambaan kepada Allah bukanlah penghinaan bagi harga diri manusia. Akan tetapi sebaliknya, penghambaan tersebut akan lebih memuliakan harga diri dan memelihara kedudukannya.
Rasulullah saww berbangga diri karena beliau adalah hamba Allah dan menolak sikap pengkultusan berlebihan (ghuluw) yang terkadang bisa menjerumuskan seseorang menuhankan beliau, sebagaimana pernah dilakukan oleh Ahli Kitab terhadap para nabi mereka, meskipun Allah telah mengancam mereka untuk tidak mengkultuskan para nabi mereka.
Allah SWT berfirman: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Almasih Isa, putra Maryam itu adalah utusan Allah, Kalimah-Nya yang Ia anugerahkan kepada Maryam dan ‘ruh’ dari-Nya”.[15]
Sesungguhnya mazhab Ahlul Bayt a.s. dalam rangka memerangi (orang-orang yang) menuhankan manusia, menekankan pentingnya penghambaan (kepada Allah dalam ucapan-ucapan mereka).
Amirul Mukminin a.s. berkata: “Aku adalah hamba Allah dan saudara Rasul-Nya”.[16]
Imam Ridla a.s. juga berkata: “Aku bangga dengan beribadah (menghamba) kepada Allah”.[17]
Hal itu dikarenakan tipe pemikiran semacam itu telah berkembang di kalangan umat-umat yang lain dan berhasil merasuk ke dalam lingkungan para pengikut agama-agama langit yang lain. Sebagai contoh, para pemeluk agama Kristen meyakini Almasih sebagai tuhan dan para pemeluk agama Yahudi menganggap ‘Uzair adalah putra Allah.
Dari sini nampaklah hikmah dan kejituan sikap Imam Ali a.s. ketika beliau menekankan karakter penghambaan dan menentang seluruh propaganda kaum Ghulat yang menuhankan beliau. Dalam sebuah hadis, datang sekelompok kaum mendatangi Amirul Mukminin as seraya berkata:
"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَبَّنَا"
(Salam sejahtera bagimu, wahai Tuhan kami). Beliau menyuruh mereka supaya bertaubat. Akan tetapi mereka membangkang. Lalu beliau menggali sebuah lobang dan menyalakan api di dalam lobang tersebut. Selanjutnya beliau menggali sebuah lobang lagi di sampingnya dan menyalakan api di dalamnya. Ketika mereka enggan bertaubat, beliau melemparkan mereka ke dalam kedua lobang tersebut hingga mereka mati.[18]
Dalam kesempatan yang lain beliau berkata:
هَلَكَ ِفيَّ رَجُلاَنِ : مُحِبٌّ غَالٍ وَمُبْغِضٌ قَالٍ
(Dua orang celaka ketika menanggapi diriku: orang yang cinta kepadaku secara berlebihan (Ghulat) dan orang yang membenciku).[19]

Kedua, akidah Islam dengan mengikat hati insan muslim dengan tali Allah dan alam akherat, telah berhasil membebaskannya dari jeratan hawa nafsunya.
Hawa nafsu - menurut pandangan Ahlul Bayt a.s. - adalah titik ketergelinciran yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, mereka lebih banyak mencurahkan perhatian mereka terhadap satu titik berbahaya ini. Akidah Islam telah membekali akal seorang muslim dengan alat kontrol istimewa yang dapat mencegahnya dari penyelewengan atau lebih mementingkan dunia yang fana atas akherat yang abadi (sebagai akibat dari mengikuti ajakan hawa nafsu).
Atas dasar itu, kita dapati perkataan, hikmah dan nasehat-nasehat Amirul Mukminin a.s. banyak berhubung-an dengan masalah hawa nafsu dan pentingnya kita menguasainya. Beliau selalu aktif menggunakan setiap kesempatan untuk membahas masalah itu, karena hawa nafsu adalah satu poin penting yang harus diperhatikan dalam pembinaan manusia.
Alquran telah mengingatkan kita bahwa “Sesungguh-nya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan kepada suatu kaum sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”.[20]
Atas dasar ini, satu hal yang menarik kita perhatikan, pada masa pemerintahannya, Imam Ali a.s. senantiasa berwasiat kepada para panglima perang dan gubenur beliau atas daerah-daerah kekuasaannya agar mereka menguasai jiwa dan hawa nafsu mereka. Hal ini selalu beliau lakukan meskipun beliau telah menyeleksi mereka secara cermat, dan mereka adalah pribadi-pribadi ideal yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlak yang mulia.
Ketika beliau mengangkat Malik Al-Asytar menjadi gubernur Mesir, beliau berpesan kepadanya dalam sebuah suratnya: “Perintah ini dikeluarkan oleh seorang hamba Allah, Ali bin Abi Thalib untuk Malik bin Harits Al-Asytar... Ia memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah SWT dan mentaati-Nya... Ia juga memerintahkannya agar mengalahkan hawa nafsunya..., karena hawa nafsu itu selalu mendorong (manusia) untuk mengerjakan kejelekan kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Kendalikan dan kekanglah hawa nafsumu dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagimu. Dan cara untuk mengendalikannya adalah (kamu) harus selalu mengontrolnya agar ia tidak mengerjakan setiap yang disukainya atau enggan mengerjakan setiap yang dibencinya. Dan kasihanilah rakyatmu”.[21]
Di antara wasiat-wasiat Imam Ali a.s. kepada Syuraih bin Hani`, salah seorang komandan pasukan beliau ketika beliau mengirim pasukan perang ke Syam (Syiria): “Ketahuilah, jika kamu tidak bisa mengekang hawa nafsumu dari setiap apa yang kamu sukai karena kamu takut akan terjadi hal-hal yang tidak kamu sukai (jika kamu mengekang hawa nafsumu itu), niscaya hawa nafsu tersebut akan menggiringmu ke arah bahaya yang lebih besar. Oleh karena itu, kekang dan kendalikanlah hawa nafsumu”.[22]
Dalam sebuah surat kepada Mu’awiyah, beliau membongkar rahasia pembelotannya dari kepemimpinan Islam yang disebabkan oleh rayuan dan bujukan hawa nafsunya. Beliau berkata: “Sesungguhnya hawa nafsumu telah memaksamu untuk bertindak jahat dan lalim, menjerumuskanmu ke dalam jurang kebinasaan dan mencemarkan jalan yang kamu tempuh”.[23]
Atas dasar itu, penyelewengan hawa nafsu memiliki resiko besar, khususnya bagi orang-orang yang memegang tampuk kepemimpinan dan mereka tidak memiliki kelayakan untuk itu.
Ahlul Bayt a.s., meskipun mereka memiliki ‘ishmah yang mampu menjaga mereka dari berbuat salah, masih selalu memohon pertolongan dari Allah SWT supaya dapat menguasai hawa nafsu mereka. Hal ini selayaknya kita jadikan pelajaran bagi diri kita. Dalam sebuah doa Imam Zainal Abidin a.s. berkata: “Lemahkanlah kekuatan kami sehingga ia tidak dapat mengerjakan hal-hal yang menyebabkan murka-Mu, dan dalam hal ini, janganlah Kau biarkan hawa nafsu kami mengerjakan setiap yang disukainya. Karena ia akan selalu memilih yang batil, kecuali hawa nafsu yang Kau beri petunjuk, dan memerintahkan kepada kejelekan kecuali hawa nafsu yang Kau karuniai rahmat”.[24]
Kesimpulannya, pembinaan manusia tidak akan sempurna kecuali jika disertai dengan penguasaan atas hawa nafsu. Hali ini akan kita bahas lebih lanjut.

Ketiga, akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia dari menyembah alam, mengkultuskan dan takut atas fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya.
Allah SWT berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لاَتَسْجُدُوْا للِشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ
(Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasan-Nya adalah malam, siang, matahari dan rembulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan bulan).[25]
Manusia pernah bingung dan takjub menghadapi fenomena-fenomena alam yang luar biasa ini. Ia tidak mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik keluarbiasaan itu. Oleh karena itu, ia mengkultuskannya dan mengajukan binatang-binatang korban yang berlimpah untuknya dengan harapan ia akan aman dari lahar-lahar gunung berapinya yang berkobar, gempanya yang memporak-porandakan (setiap yang terdapat di muka bumi ini), banjirnya yang dahsyat dan petir-petir apinya yang siap menghanguskan (setiap yang disentuhnya). Maka datanglah akidah menyingkap tabir-tabir yang menyelimuti akalnya dan membuka jalan di hadapannya lebar-lebar supaya ia memfungsikan alam ini semaksimal mungkin dan hidup damai berdampingan dengannya. Dengan ini, nyatalah baginya bahwa alam semesta ini dan segala ciptaan yang ada di dalamnya diciptakan oleh Allah SWT demi kepentingan manusia. Dan tugas utamanya adalah memanfaatkannya dan merenungkan asal-usulnya sehingga dengan cara itu ia dapat menemukan Khaliqnya.
Allah SWT berfirman:
أَفَلاَيَنْظُرُوْنَ إِلَـى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ | وَإِلَـى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ | وَإِلَـى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ | وَإِلَـى اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
(Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bagaimana bumi dihamparkan?).[26]
Perlu diketahui bahwa metode akidah Islam dalam membina manusia adalah metode yang universal dan mencakup semua sisi kehidupan manusia (manhaj syumuli), baik yang berhubungan dengan diri, Tuhan dan alam sekitarnya. Ketika manusia memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhannya, hal itu akan berdampak positif terhadap sikapnya dalam menanggapi alam sekitarnya. Dengan ini ia akan merasa tenang dan tentram hidup di dalamnya.
Ketika kaum Nabi Hud a.s. ditimpa paceklik selama tiga tahun karena pengingkaran mereka atas ajakan beliau, beliau menganjurkan mereka untuk minta ampun kepada Tuhan dan bertaubat kepada-Nya atas dosa-dosa yang pernah mereka lakukan dengan jalan memperbaiki hubungan mereka dengan-Nya. Dengan itu, alam berdamai dengan mereka dan menurunkan hujan dan berkah. Nabi Hud a.s. - seperti disinnyalir oleh Alquran -berkata kepada mereka:
يَاقَوْمِ اسْتَغْفِرُوْا رَبـَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوُّةً إِلَـى قُوُّتِكُمْ وَلاَتَتَوَلَّوْا مُجْرِمِيْنَ
(Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa).[27]
Atas dasar ini, ibadah yang sejati hendaknya dilakukan hanya karena Allah semata, dan kita harus takut akan dosa-dosa yang menyebabkan murka dan pembalasan-Nya. Karena Allah ketika murka, Ia dengan mudah akan menggunakan kekuatan alam ini sebagai sarana untuk menyiksa manusia, sebagaimana Ia telah menenggelamkan Fir’aun ke dalam lautan dan mengirim badai yang memporak-porandakan kaum ‘Aad. Begitu juga mayoritas siksaan yang telah menimpa orang-orang kafir terjadi melalui kekuatan alam. Hal ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara manusia dan alam.
Berkenaan dengan hal di atas Imam Al-Baqir a.s. berkata: “Kami dapatkan dalam kitab Rasulullah saww, `jika mereka enggan membayar zakat, maka tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan tambang akan dicabut dari bumi`”.[28]
Imam Ja’far As-Shadiq, putra beliau a.s. juga pernah berkata:
إِذَا فَشَا الزِّنَا ظَهَرَتِ الزَّلاَزِلَ، وَإِذَا أُمْسِكَتِ الزَّكَاةُ هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ، وَإِذَا جَارَ الْحُكَّامُ فِي الْقَضَاءِ أُمْسِكَ الْقَطْرُ مِنَ السَّمَاءِ
(Jika perzinaan telah memasyarakat, maka akan muncullah gempa dan bencana alam, jika zakat tidak dikeluarkan, niscaya akan binasalah seluruh binatang melata dan bila para penguasa telah berlaku curang dan lalim dalam memutuskan suatu perkara, niscaya air hujan tidak akan turun dari langit).[29]
Ringkasnya, hendaknya manusia hanya takut akan dosa dan kesalahan-kesalahan yang dapat menyebabkan kehancuran masyarakat dan terangkatnya berkah. Adapun jika ia takut terhadap alam dan meyakini bahwa sebagian fenomena-fenomenanya adalah suatu kejelekan yang tidak sesuai dengan aturan alam dan hikmah aturan tersebut, hal ini sebenarnya muncul dari pandangannya yang sempit terhadap masalah-masalah ini. Jika ia memandang peristiwa-peristiwa itu dengan kaca mata undang-undang alam yang universal, niscaya ia akan mengakui bahwa hal itu adalah kebaikan mutlak.
Betul, kali pertama peristiwa-peristiwa itu tampak merugikan. Akan tetapi orang yang mau merenungi peristiwa-peristiwa tersebut, ia akan memahami bahwa peristiwa-peristiwa itu adalah kebaikan dan kemaslahatan mutlak yang sarat dengan hikmah, keadilan dan terjadi atas dasar undang-undang yang jitu. Pembahasan berkenaan dengan hikmah-hikmah musibah dan bala` ini dapat anda telaah lebih cermat lagi dalam ilmu Teologi. Akan tetapi, yang perlu kami tekankan di sini, akidah Islam telah berhasil merubah pandangan manusia terhadap alam sekitarnya, hal yang dapat memberikan kebebasan kepadanya, dan dengan itu ia dapat lebih leluasa berinnteraksi dan bersahabat dengannya.

Keempat, akidah Islam telah berhasil membebaskan manusia dari keyakinan dan perilaku yang sarat dengan cerita-cerita bohong dan tahayul. Hal ini bertujuan untuk membasmi tabir-tabir hayalan yang bersemayam di dalam akalnya yang dapat menonaktifkan fungsi akal tersebut.
Sebagai contoh, penduduk Arab Jahiliah mempercayai nasib baik dan buruk melalui gerakan burung. Ketika mereka melihat burung bergerak menuju ke arah kanan, mereka mulai bekerja dan ketika mereka melihatnya bergerak menuju ke arah kiri, mereka berhenti dari pekerjaan tersebut. Para ahli sihir dan ilmu Nujum, pada saat itu juga menempati posisi terpenting di kalangan masyarakat dan dengan mengaku mengetahui alam ghaib, mereka tega menipu penduduk yang hidup di dalam masyarakat tersebut.
Di samping itu, meramal nasib adalah salah satu kebiasaan yang memegang peranan penting dalam praktek hidup mereka sehari-sehari. Dan kadang-kadang kepercayaan ini menjadikan mereka malas berusaha.
Begitu juga kebiasaan menentukan nasib dengan dengan anak panah (al-istqsaam bil azlaam) adalah salah satu kebiasaan yang diyakini oleh penduduk Arab Jahiliah. Seseorang yang ingin mengerjakan sebuah pekerjaan, ia mengambil tiga anak panah, kemudian ia menulis kata “إِفْعَلْ” (kerjakan) pada anak panah pertama dan kata لاَتَفْعَلْ”“ (jangan kerjakan) pada anak panah yang kedua. Sementara anak panah yang ketiga ia biarkan kosong. Selanjutnya ia merogohkan tangannya untuk mengambil salah satu dari ketiga anak panah tersebut. Jika anak panah pertama yang keluar, ia akan memulai pekerjaannya, jika anak panah kedua yang keluar, ia akan membatalkan pekerjaan tersebut dan jika anak panah ketiga yang keluar, ia mengulangi pemilihan sekali lagi.
Sihir adalah salah satu kebiasaan lain yang juga memasyarakat kala itu. Sihir tersebut digunakan untuk menjaga diri dari kejahatan dan kejelekan.
Di saat kebiasaan-kebiasaan itu menguasai kehidupan masyarakat kala itu, datanglah akidah Islam dan berusaha untuk memerangi kebiasaan-kebiasaan tersebut. Akhirnya akidah itu berhasil membuka akal, menjunjung tinggi jiwa dan mengeluarkan mereka dari jurang gelap hayal menuju dunia ilmu dan realita.
Rasulullah saww bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ وَلاَ مَنْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ
(Tidak termasuk golongan kami orang yang meramal (nasib) dan orang yang minta diramal, orang yang melaksanakan praktek dukun dan orang yang meminta untuk didukuni atau orang yang menggunakan praktek sihir dan orang yang memohon darinya untuk melakukan hal itu demi kepentingannya).[30]
Dalam kesempatan yang lain beliau juga pernah bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
(Barang siapa yang terpenuhi hajatnya karena ramalan, maka ia telah musyrik).[31]
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Keampuhan ramalan itu tergantung keyakinanmu terhadapnya. Jika engkau meremehkannya, ia tidak akan berfungsi, dan jika engkau meyakininya, ia akan menguasai hidupmu...”.[32]
Di sisi yang lain, akidah Islam telah berhasil membebaskan akal muslimin dari ramalan-ramalan ahli Nujum. Akidah Islam memandangnya seperti dukun peramal yang mengikat ruang lingkup gerakan manusia dalam hidunya dan memperdaya akalnya.
Abdul Malik bin A’yun berkata kepada Abu Abdillah a.s.: “Saya telah kecanduan dengan ilmu ini - (yang ia maksud adalah ilmu Nujum) -. Ketika aku melihat tanda kejelekan (di langit), aku enggan pergi untuk menyelesaikan keperluanku, dan ketika aku melihat tanda kebaikan (di langit), aku pergi untuk menyelesaikan keperluanku”. Beliau bertanya kepadanya: “Apakah terbuktikan apa (yang engkau sangka itu)?” “Ya”, jawabnya. Selanjutnya beliau berkata: “Bakarlah buku-bukumu (yang berkenaan dengan ilmu Nujum) itu!”[33]
Perlu diingat, mazhab Ahlul Bayt a.s. tidak mencela ilmu Nujum sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang dengannya manusia dapat mengetahui keagungan langit, dan selanjutnya ia akan memahami kebesaran Penciptanya. Mazhab ini mencela klaim sebagian orang yang mengaku mengetahui alam ghaib dengan ilmu Nujum tersebut.
Sebagai bukti jelas atas usaha Ahlul Bayt a.s. untuk membebaskan manusia dari mempercayai ramalan-ramalan ilmu Nujum yang masih diyakini oleh sebagian orang di abad-abad terakhir ini adalah jawaban Amirul Mukminin a.s. kepada sebagian sahabat beliau. Ketika beliau hendak bergerak untuk memerangi Khawarij, sebagian sahabat dengan bersandarkan kepada ilmu Nujum berkata kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, jika anda bergerak sekarang, aku takut anda akan gagal”.
Beliau menjawab: “Apakah engkau mengira dapat mengetahui sebuah masa yang jika seseorang mengerjakan sebuah pekerjaan pada masa tersebut, ia akan akan terselamatkan dari segala kejelekan? Dan apakah engkau menyangka dapat mengetahui sebuah masa yang jika seseorang melakukan sebuah pekerjaan pada masa tersebut, ia akan terancam kesengsaraan? Orang yang membenarkan sangkaanmu itu, ia telah membohongkan Alquran dan merasa tidak memerlukan pertolongan Allah lagi dalam menggapai tujuan dan menyingkirkan bahaya”.
Lalu beliau menghadap kepada para sahabat yang ikut serta dalam peperaangan itu seraya berkata: “Wahai manusia, janganlah mempelajari ilmu Nujum kecuali yang dapat anda gunakan untuk mencari petunjuk jalan di daratan atau di lautan ... Bergeraklah dengan nama Allah”.[34]


Membina Pemikiran Manusia
Dalam pandangan Islam, akal memiliki kedudukan yang sangat agung. Ia adalah dasar dan modal utama manusia untuk menggapai akidah yang benar. Dan di samping itu, akal adalah salah satu dari dalil-dalil ijtihad.
Rasulullah saww bersabda:
وَلِكُلِّ شَيْئٍ دَعَامَةٌ، وَدَعَامَةُ الدِّيْنِ الْعَقْلُ
(Segala sesuatu memiliki tiang penyanggah, dan tiang penyanggah agama adalah akal).[35]
Dari sisi lain, akal adalah tiang penyanggah insan mukmin. Rasulullah saww bersabda: “Barang siapa yang memiliki akal, maka ia telah memiliki agama, dan barang siapa yang memiliki agama, niscaya akan masuk surga”.[36]
Terdapat ratusan dalil yang membahas peranan penting akal, dan dengan meninjau dalil-dalil tersebut secara global, kita akan memahami bahwa Islam dalam usaha mengembangkan perannya secara maksimal melalui dua tahapan;pertama, membebaskan akal, dan kedua, mengarahkan dan memfungsikan kemampuan-kemampuannya.

1. Membebaskan Akal
Langkah pertama yang digunakan oleh Islam demi mengembangkan peran akal secara maksimal ini dapat kita pahami dari dalil-dalil yang memerintahkan setiap insan untuk memberantas belenggu-belenggu yang dapat mengikat akal, mencegahnya dari berkreatif dan menjerumuskannya ke dalam jurang kesalahan. Usaha Islam dalam hal ini adalah memberantas taklid buta.
Contoh-contoh usaha ini dapat kita baca dalam Alquran dalam berbagai kesempatan.
Ketika Alquran meminta dari musyrikin untuk membuktikan keyakinan (penyembahan patung) mereka dengan argumentasi yang benar, ia menekankan bahwa satu-satunya argumen yang mereka miliki hanyalah mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Alquran berfirman: “Bahkan mereka berkata: `Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka`”.[37]
Alquran juga menekankan bahwa mengikuti tradisi nenek moyang ini adalah kebiasan sekelompok manusia yang telah terkunci akalnya. Allah berfirman: “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam satu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: `Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka`”.[38]
Kadang kala Alquran menceritakan tradisi (mengikuti jejak nenek moyang) tersebut dalam dua ayat berturut-turut. Hal ini dimaksudkan supaya nampak jelas dangkalnya keyakinan dan kebodohan mereka. Tapi bagaimanapun, mereka tidak akan mengikuti kebenaran dan argumentasi yang dibawa oleh agama suci ini. Mereka akan berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang telah kami dapati nenek moyang kami melakukannya?”[39] Bahkan, jika seorang pemberi peringatan datang kepada mereka menerangkan kebatilan keyakinan mereka dan dengan tujuan membangkitkan kemauan mereka untuk mencari kebenaran, dan ia berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kamu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk dari apa yang kamu dapati nenek moyangmu menganutnya?”[40], mereka tidak akan beranjak untuk mengikuti argumentasi kebenaran itu, bahkan mereka akan tetap memegang teguh kekeliruan mereka itu. Allah berfirman: “Mereka menjawab: `Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya`”.[41] Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami melakukannya”.[42]
Dan Alquran telah berkali-kali menyebutkan pengingkaran mereka tersebut dalam kesempatan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan keyakinan-keyakinan itu telah terpatri kuat di dalam sanubari masyarakat kala itu, dan bahkan ada kemungkinan keyakinan itu akan merambat dan merasuki sanubari masyarakat yang hidup di masa mendatang. Lebih dari itu, keyakinan itu telah mempengaruhi suluk dan tingkah laku mereka.
Allah SWT berfirman: “Dan jika mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: `Kami mendapatkan nenek moyang kami mengerjakan yang demikian`”.[43] Dan dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Mereka menjawab: `Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian`”.[44]
Setelah itu semua, Alquran menjelaskan balasan yang menunggu kedatangan sebuah kaum yang memiliki keyakinan itu dengan tujuan supaya mereka tidak mengikuti cara berpikir tersebut. Allah berfirman: “Maka Kami binasakan mereka. Oleh karena itu, perhatikanlah bagaimana akibat para pendusta”.[45]

2. Mengarahkan dan Memfungsikan Kemampuan Akal
Setelah akidah Islam membebaskan akal dari belenggu-belenggu yang mengikatnya, lantas ia mendorongnya maju ke depan. Yaitu dengan mengarah-kan seluruh kemampuannya untuk berpikir dan merenungkan tentang alam dan kehidupan. Hal ini demi terwujudnya kehidupan yang sempurna baginya, baik kehidupan agama atau dunia.
Kami akan mengutip beberapa ayat Alquran yang mengajak akal untuk merenungkan cakrawala alam yang luas dan beraneka ragam ini:
Pertama, ayat yang mengajak akal untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT di jagad raya dan jiwa.
Allah swt berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّليْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ | الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَـفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring, dan merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau! Maka peliharalah kami dari siksa neraka”).[46]
Allah berfirman:
وَفِي اْلأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوْقِنِيْنَ | وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
(Dan di bumi ini terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?).[47]
Allah berfirman: “Katakanlah: `Perhatikanlah apa yang ada di lagnit dan di bumi`”.[48]
Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan”.[49]
Allah berfirman: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”.[50]
Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana diciptakan, gunung-gunung, bagaimana ditegakkan, dan bumi, bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena kamu hanyalah orang yang memberi peringatan”.[51]
Patut diperhatikan, Alquran sering menceritakan tentang alam dan rahasia penciptaannya di beberapa surah dengan metode pemaparan yang berbeda-beda, dan mengajak manusia untuk melihat dan merenungkan segala fenomena yang terjadi di dalamnya. Dan yang lebih penting dari itu semua, Alquran menjadikan alam ini sebagai garis start untuk menuju Allah, Penciptanya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww sering membaca ayat:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ | الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَ يَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Kemudian beliau bersabda : “Celakalah bagi orang yang membacanya tetapi tidak mau merenungkannya”.
Imam Ali a.s. berkata: “Rasulullah saww ketika bangun malam, beliau menggosok gigi, kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit dan membaca:[52]
Dan para imam a.s. dalam membuktikan keberadaan Allah, menganjurkan para pengikut mereka untuk merenungkan alam dan undang-undang teratur yang berjalan di dalamnya. Argumentasi ini di kalangan para ahli ilmu teologi dikenal dengan nama “dalil an-nadhm” (argumentasi keteraturan alam).
Amirul Mukminin a.s. berkata: “Jika mereka mau merenungkan kekuatan dan ni’mat (Allah) yang agung (yang telah dianugerahkan kepada para hamba-Nya), niscaya mereka akan kembali ke jalan yang benar dan takut siksa neraka. Akan tetapi, hati dan sanubari mereka telah dihinggapi penyakit (pengingkaran terhadap kebenaran). Apakah mereka tidak mau merenungkan tentang makhluk kecil yang telah Ia ciptakan dengan bentuk dan susunan yang sempurna, dan memberikan penglihatan, pendengaran, tulang dan kulit kepadanya?
Lihatlah semut yang kecil tubuhnya dan lembut bentuknya. Binatang kecil ini hampir-hampir tidak dapat dilihat oleh mata dan dijangkau oleh akal manusia. (Lihatlah) bagaimana ia berjalan di atas bumi mencari rizkinya. Jika engkau merenungkan alat pencernaan makanannya, tinggi dan rendahnya, sarana-sarana menakjubkan yang terdapat di perut, kepala dan telinganya, engkau akan terheran-heran memikirkan penciptaannya dan tidak akan mampu untuk mengungkapkan keajaibannya.
Lihatlah matahari dan bulan, gelombang ombak di lautan, beranekaragamnya gunung, memanjangnya puncak-puncak dan perbedaan bahasa dan logat berbicara ...
Celakalah bagi orang yang mengingkari adanya Dzat penentu Qadar dan membohongkan Dzat yang mengatur (alam ini). Mereka menyangka bahwa mereka adalah bak tetumbuhan (yang tumbuh sendiri) tanpa penanam dan beranekaragamnya wajah mereka (timbul dengan sendirinya) tanpa ada orang yang membuatnya. Sebenarnya mereka tidak memiliki argumentasi dan riset yang kuat untuk membenarkan sangkaan mereka itu.
Apakah mungkin terwujud sebuah bangunan tanpa ada orang yang membangunnya dan sebuah kriminalitas tanpa ada orang yang bertindak kriminalitas itu?!”[53]
Dari sisi lain, Alquran sendiri mendorong manusia untuk berpikir. Dalam hal ini, terkadang Alquran menggunakan bentuk ‘istifham inkari’ (yang digunakan untuk membatalkan keyakinan seseorang secara tidak langsung). Seperti firman Allah yang berbunyi:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَتُرْجَعُوْنَ
(Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptaknmu dengan sia-sia dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?).[54]
Dan kadang kala Alquran secara langsung membatalkan keyakinan orang-orang yang meyakini bahwa manusia diciptakan secara sia-sia (tidak melalui jalan istifham inkari). Seperti firman Allah yang berbunyi:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا لاَعِبِيْنَ | مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
(Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan main-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan hak. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui).[55]
Mazhab Ahlul Bayt a.s. menganggap berpikir dan merenungkan tentang langit dan bumi itu sebagai ibadah, dan bahkan ibadah yang paling utama.
Berkaitan dengan hal ini Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ إِدْمَانُ التَّفَكُّرِ فِي اللهِ وَفِي قُدْرَتِهِ
(Ibadah yang paling utama adalah senantiasa merenungkan tentang Allah dan kekuasaan-Nya).[56]
Dan para pengikut Ahlul Bayt a.s. senantiasa memperbanyak ibadah ini sehingga hal itu mampu memberikan sumbangsih secara aktif dalam membangun manusia dan mengantarkannya menuju derajat spiritual yang tinggi. Sebagai contoh, mayoritas ibadah Abu Dzar r.a. adalah berpikir dan mengambil pelajaran (‘ibrah) dari orang lain.
Ibu Abu Dzar ketika ditanya tentang ibadah anaknya itu menjawab : “Hari-harinya ia isi dengan merenungkan tentang satu sisi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia”.[57]
Patut diketahui, cara memandang alam wujud sebagaimana yang telah dibimbing oleh Alquran dan ‘Itrah (keluarga Rasulullah saww) adalah dasar utama bagi seluruh cara berpikir manusia dan tingkah lakunya. Oleh karena itu, dengan berbedanya cara memandang alam wujud itu, muncullah keanekaragaman peradaban dan kebudayaan.
Kedua, ayat-ayat yang mengajak akal untuk merenungkan masa lalu sejarah. (Pada masa kini metode ini dikenal dengan nama “filsafat sejarah”).
Akidah Islam mengajak kita untuk merenungkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan penuh jeli dan teliti dengan tujuan supaya kita dapat mengetahui faktor-faktor kehancuran dan kesuksesan sebuah masyarakat dan peradaban.
Allah SWT berfirman :
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُوْا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
(Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikan bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan rasul-Nya).[58]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka. Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”.[59]
Allah juga berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, padahal para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, akan tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa”.[60]
Ayat-ayat di atas adalah seruan bagi manusia untuk memfungsikan kemampuan akalnya dan merenungkan sejarah umat-umat masa lampau sehingga ia tidak seperti kambing-kambing liar yang berjalan tanpa penggembala menuju satu tujuan yang tak menentu.
Ayat-ayat di atas adalah seruan bagi manusia untuk mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman peradaban masa lampau dan faktor-faktor kehancurannya. Karena peristiwa-peristiwa sejarah itu akan terulang kembali.
Allah SWT berfirman :
سُنَّةَ اللهِ فِي الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً
(Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelummu, dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah).[61]
Dan patut diperhatikan bahwa “peranan agama dan tanggung jawabnya dalam kehidupan manusia adalah mewujudkan suasana yang romantis dan serasi antara perilaku dan cara berpikir manusia dengan sunnah Allah yang berjalan dalam kehidupan ini sebagai undang-undang bagi makhluk-Nya di alam ini.[62]
Atas dasar ini, agama mengarahkan pemikiran manusia untuk merenungkan segala sesuatu secara mendalam dan terarah. Dan tentunya terdapat perbedaan yang mendasar antara pandangan yang dangkal terhadap kehidupan dan sejarah dengan pandangan yang dalam dan teliti yang tidak hanya ingin melihat suatu peristiwa secara sekilas. Akan tetapi, pandangan tersebut ingin meneliti dan menelusuri sejarah itu hingga ke akar-akarnya dengan tujuan untuk mengambil sebuah pelajaran berharga dari sejarah tersebut.
Sebagai contoh sederhana, seorang pelancong yang sedang berjalan melewati piramida-piramida Mesir yang megah, ia akan terpesona oleh keindahan arsitektur bangunan dan kemegahannya. Dan semua ini akan berakhir sampai di situ saja.
Berbeda dengan seorang perenung yang berakidah. Ketika ia berjalan melewati piramida-piramida itu, akan muncul kesimpulan-kesimpulan berikut ini di benaknya: kemampuan dan kekuatan manusia (dalam mewujudkan kemegahan itu), kezaliman dinasti Fir’aun dengan cara memaksa sejumlah besar tenaga manusia untuk membangun pramida tersebut dan tega menyiksa orang-orang lemah tersebut dengan beraneka ragam siksa. Di samping itu, ia akan mengambil pelajaran dari pengingkaran dinasti Fir’aun akan realitas kematian dan hari kebangkitan (dengan cara membangun piramida-piramida sebagai pelindung mayat-mayat mereka). Dengan ini, ia akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dengan melihat kemegahan itu.
Oleh karena itu, Ahlul Bayt a.s. menekankan pentingnya merenungkan segala sesuatu secara mendalam dan teliti.
Hasan Ash-Shaiqal berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah a.s.: `Apakah berpikir sesaat itu lebih baik dari beribadah semalam suntuk?` Beliau menjawab: `Betul. Rasulullah saww bersabda:
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
(Berpikir sesaat lebih baik dari beribadah semalam suntuk)”.[63]
Ketika Amirul Mukminin a.s. berjalan melewati reruntuhan kota Al-Mada`in, beliau menganjurkan para sahabat untuk mengambil pelajaran dari sejarah. Beliau berkata:
إِنَّ هَؤُلاَءِ الْقَوْمَ كَانُوْا وَارِثِيْنَ فَأَصْبَحُوْا مَوْرُوْثِيْنَ، وَإِنَّ هَؤُلاَءِ الْقَوْمَ اسْتَحَلُّوا الْحُرُمَ فَحَلَّتْ فِيْهِمُ النِّقَمُ، فَلاَتَسْتَحِلُّوا الْحُرُمَ فَتَحُلَّ بِكُمُ النِّقَمُ
(Dahulu mereka adalah pewaris umat yang sebelum mereka, dan kini mereka diwarisi oleh umat setelah mereka. Dan mereka telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah. Oleh karena itu, siksaan telah menimpa mereka. Maka janganlah kamu menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah, karena siksaan akan menimpa kamu).[64]
Dalam kesempatan lain beliau berkata:
فَاعْتَبِرُوْا بِمَا أَصَابَ اْلأُمَمَ الْمُسْتَكْبِرِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنْ بَأْسِ اللهِ وَصَوْلاَتِهِ، وَوَقَائِعِهِ وَمَثُلاَتِهِ
(Belajarlah dari siksa dan azab Allah yang telah menimpa umat yang sombong sebelum kalian).[65]
Lebih dari itu, beliau juga mengingatkan bahwa ancaman dan siksaan berlaku untuk semua lapisan masyarakat, baik yang kafir atau mukmin, dan di segala tempat dan kesempatan. Hal ini terjadi ketika mukminin sudah tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama dan menjauh dari jalan yang benar. Sebagai salah satu contoh ketidakperdulian mereka itu adalah memasyarakatnya perpecahan di kalangan mereka.
Berkenaan dengan hal di atas beliau berkata: “Lihatlah mukminin sebelum kalian, bagaimana mereka berhasil menghadapi bala` dan cobaan? Renungkan, ketika tujuan dan keinginan mereka satu, (mereka berhasil dalam menghadapi cobaan hidup). Dan lihatlah akibat mereka ketika mereka berpecah belah dan saling memerangi saudaranya yang lain. Allah telah melucuti baju kemuliaan dari badan mereka dan mencabut ni’mat-Nya yang luas dari (kehidupan) mereka. Kisah mereka (yang menyedihkan ini) hendaknya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran (dari sejarah)”.[66]
Dan di antara wasiat emas beliau a.s. untuk putranya, Imam Hasan a.s. beliau menganjurkannya untuk merenungkan peristiwa-peristiwa yang telah menimpa umat-umat masa lampau. Beliau berkata:
أَيْ بُنَيَّ، إِنِّي وَإِنْ لَمْ أَكُنْ عُمِّرْتُ عُمْرَ مَنْ كَانَ قَبْلِي، فَقَدْ نَظَرْتُ فِي أَعْمَالِهِمْ وَفَكَّرْتُ فِي أَخْبَارِهِمْ وَسِرْتَ فِي آثَارِهِمْ، حَتَّى عُدْتُ كَأَحَدِهِمْ، بَلْ كَأَنِّي بِمَا انْتَهَى اِلَيَّ مِنْ أُمُوْرِهِمْ قَدْ عُمِّرْتُ مَعَ أَوَّلِهِمْ إِلَى آخِرِهِمْ.
(Wahai anakku, meskipun aku tidak hidup sezaman dengan orang-orang sebelumku, akan tetapi aku dapat melihat perbuatan-perbuatan mereka, merenungkan kisah-kisah mereka dan menapaki jejak mereka, sehingga aku seperti pernah hidup di antara mereka. Dan bahkan - karena aku mengetahui segala peristiwa yang telah menimpa mereka - seolah-olah aku diberi umur seperti umur mereka).[67]
Ketiga, ayat-ayat yang menganjurkan kita untuk merenungkan hikmah yang tersembunyi di balik hukum-hukum syariat.
Hal itu ditujukan untuk menguatkan keyakinan seorang muslim akan kelanggengan agamanya dan validitas agama tersebut untuk diterapkan di setiap tempat dan zaman. Hal ini dimaksudkan agar awan-awan syubhah tersingkirkan dari cakrawala pemikirannya.
Hukum-hukum Islam kadang kala bersifat tauqifi yang kita tidak akan mampu untuk mengetahui rahasianya, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, dan kadang kala hukum-hukum tersebut memiliki sisi sosial yang Alquran telah menyingkap hikmah yang tersembunyi di balik hukum-hukum itu, dan karena suatu maslahat yang akan kembali kepada individu dan masyarakat di balik penyingkapan itu, seperti firman Allah:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
(Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa). [68]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman:
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ
(Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Ia ingin membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu).[69]
Begitu juga sunnah telah menyingkap hikmah-hikmah hukum-hukum tersebut di atas. Imam Ali bin Musa Ar-Ridla a.s. menulis surat kepada Muhammad bin Sinan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya: “Allah mengharamkan membunuh orang lain, karena jika pembunuhan tersebut dihalalkan, kekacauan akan menimpa makhluk bumi ini, dan hal itu akan menyebabkan kebinasaan mereka. Dan Allah mengharamkan zina, karena hal itu akan menyebabkan binasanya jiwa, tidak jelasnya garis keturunan dan harta waris, tidak terjaminnya pendidikan anak-anak (yang lahir dari zina itu) dan lain sebagainya.[70]
Keempat, ayat-ayat yang menyeru akal manusia untuk merenungkan (apa yang ada di alam ini), berpendirian teguh, mandiri dalam berpikir dan melangkah ke depan dengan mantap.
Rasulullah saww bersabda: “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memiliki pendirian. Jika masyarakat berbuat baik kepadanya, ia akan membalas kebaikan tersebut, dan jika mereka menzaliminya, ia akan membalas kezaliman itu. Akan tetapi mantapkanlah pendirian kalian. Jika masyarakat berbuat baik kepada kalian, balaslah kebaikan mereka, dan jika mereka menzalimi kalian, janganlah kalian balas kezaliman tersebut dengan kezaliman yang serupa”.[71]
Allah berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
(Maka apakah mereka tidak mau merenungkan Alquran, ataukah hati mereka terkunci ?).[72]
Ayat di atas adalah seruan yang sangat menyentuh sanubari bagi kita untuk senantiasa berpikir dan merenungkan. Hal ini dapat dipahami dari: pertama, penolakan Alquran terhadap orang-orang yang berpikiran dangkal (tidak mau merenungkan secara mendalam) dan menentang kebenaran, dan kedua, kritikan yang keras nan tegas terhadap kelompok manusia itu.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
(Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar).[73]
Atas dasar ayat tersebut, sebuah klaim tidak akan memiliki nilai jika tidak dilandasi oleh argumentasi yang benar. Dan jika Zamakhsyari meyakini bahwa ayat di atas adalah dalil terkuat untuk menghancurkan pondasi mazhab para muqallid[74] (orang-orang yang mengikuti pendapat orang lain yang dipercayainya), akan tetapi kandungan ayat lebih dari itu, (yaitu tidak khusus hanya menyeru para muqallid untuk membuktikan klaim mereka dengan argumentasi yang benar). Karena ayat tersebut menyeru seluruh manusia yang berlatar belakang pemikiran berbeda-beda. Para pemikir kawakanpun, dikarenakan kekeliruan mereka meyakini formulasi-formulasi universal sebagai suatu yang badihiy, padahal tidak demikian, mungkin mengalami kekeliruan. Dan hal itu sering kali dialami oleh para ahli debat, dan kadang kala kekeliruan-kekeliruan tersebut terjadi pada ilmu pragmatis (terapan) ketika kita meyakini kesimpulan-kesimpulan yang kita peroleh telah dilandasi oleh formulasi-formulasi ilmiah yang permanen, padahal kesimpulan-kesimpulan tersebut hanya dilandasi oleh penelitian yang serba kurang.
Oleh karena itu, kita dapat memahami rahasia himbauan Alquran kepada kita untuk selalu membuktikan seluruh klaim kita dengan argumentasi yang kuat, baik yang berhubungan dengan ilmu akal atau ilmu pragmatis.
Dan tidak diragukan lagi bahwa medan untuk berpikir adalah luas seluas medan ilmu pengetahuan.
Ketika kita meneliti dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah ini, kita dapat menggolongkannya ke dalam dua bagian:
1. Dalil-dalil yang menyeru seluruh lapisan masyarakat secara umum, baik ilmuwan atau masyarakat awam (untuk membuktikan klaim-klaim mereka dengan argumentasi, bukan dengan jalan taklid), meskipun secara sepintas dalil-dalil tersebut hanya ditujukan kepada masyarakat awam. Seperti ayat di atas.
2. Dalil-dalil yang berhubungan dengan janis khusus taklid. Yaitu bertaklid buta kepada pribadi-pribadi tertentu yang memiliki nama baik di kalangan masyarakat, dan seakan-akan mereka adalah tolok ukur kebenaran yang seluruh ucapan dan perilaku mereka tidak layak untuk dikoreksi. Dalil-dalil ini mengecam taklid jenis ini, karena taklid tersebut akan memusnahkan peran akal.
Jenis taklid inilah yang selalu menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesalahan. Amirul Mukminin a.s. telah berusaha sekuat tenaga untuk memerangi jenis taklid ini dengan menunjukkan metode yang benar untuk mencari dan mengetahui kebenaran. Ketika sebagian sahabat yang bingung melihat Thalhah, Zubair dan A’isyah bersatu memerangi beliau dan mereka menyangka bahwa ketiga orang tersebut tidak mungkin akan bersatu dalam kesalahan, datang menemui beliau, beliau menjawab dengan tegas:
إِنَّكَ مَلْبُوْسٌ عَلَيْكَ، إِنَّ دِيْنَ اللهَ لاَيُعْرَفُ بِالرِّجَالِ، بِلْ بِآيَةِ الْحَقِّ، فَاعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
(Kamu keliru, karena tolok ukur agama Allah bukan orang-orang yang memeluknya, akan tetapi tolok ukurnya adalah haq (kebenaran). Oleh karena itu, ketahuilah hakekat kebenaran terlebih dahulu, niscaya kamu akan mengetahui orang-orangnya).[75]

Kelima, ayat-ayat yang menyeru manusia untuk menggali ilmu pengetahuan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama Islam menganjurkan para pengikutnya untuk menggali ilmu pengetahuan. Banyak ayat-ayat Alquran yang menyinggung hal ini, baik secara langsung atau tidak.
Allah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ
(Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran”).[76]
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
(Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan).[77]
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
(Dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”).[78]
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama).[79]
Dan karena pentingnya ilmu, Allah SWT telah mengambil perjanjian dari ahli kitab untuk menjelaskan dan menyebarkannya (di kalangan masyarakat). Ia berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَتُبَـيَّنُـنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَتَكْـتُمُوْنَهُ ...
(Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberikan kitab, yaitu “Hendaknya kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan menyembunyikannya ...”).[80]
Hadis-hadis Rasulullah saww dan Ahlul Bayt a.s. juga menekankan bahwa ilmu adalah tiang penyanggah agama, dan dengan ilmu Islam akan hidup. Oleh karena itu, mereka menganjurkan kita untuk selalu menggalinya. Tinta ulama dalam pandangan Islam lebih utama dari darah syuhada`, keutamaan orang alim dibandingkan dengan keutamaan ahli ibadah bak keutamaan bulan atas seluruh bintang. Dalam kaitannya dengan hal ini Rasulullah saww bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ عِنْدَ اللهِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيْلِ اللهِ
(Mencari ilmu lebih utama di sisi Allah SWT dari shalat, puasa, haji dan jihad di jalan-Nya).[81]
Imam Ali a.s. berkata:
قِيْمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحْسِنُهُ
(Nilai setiap individu tergantung kepada kebaikan yang ia kerjakan dengan sebaik-baiknya).[82]
Perhatikanlah pesan Imam Ali a.s. kepada Kumail bin Ziyad An-Nakha’i di bawah ini ketika beliau membandingkan nilai ilmu pengetahuan dengan harta benda:
يَا كُمَيْلُ، اَلْعِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، اَلْعِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، وَالْمَالُ تَنْقُصُهُ النَّفَقَةُ وَالْعِلْمُ يَزْكُوْ عَلَى اْلإِنْفَاقِ، وَصَنِيْعُ الْمَالِ يَزُوْلُ بِزَوَالِهِ. يَا كُمَيْلُ بْنُ زِيَادٍ، مَعْرِفَةُ الْعِلْمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، بِهِ يَكْسِبُ اْلإِنْسَانُ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ، وَالْعِلْمُ حَاكِمٌ وَالْمَالُ مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ. يَا كُمَيْلُ، هَلَكَ خُزَّانُ اْلأمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي الْقُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ
(Wahai Kumail, ilmu lebih baik daripada harta. Karena ilmu itu akan menjagamu, sementara harta, kamu yang harus menjaganya. Harta akan berkurang dengan menginfakannya, sementara ilmu akan bertambah dengannya. Pemilik harta akan sirna dengan sirnanya harta. Wahai Kumail, ilmu adalah perantara manusia untuk beragama yang benar. Dengan ilmu manusia dapat menjalankan ketaatan dalam hidupnya dengan sebaik-baiknya, dan akan menjadi buah bibir masyarakat setelah ia meninggal dunia. Ilmu adalah hakim (yang dapat menentukan yang baik dan buruk), sedangkan harta akan dihakimi. Wahai Kumail, orang-orang yang menyimpan harta adalah mati meskipun mereka masih hidup, dan ulama akan abadi sepanjang masa. Meskipun tubuh mereka telah tiada, akan tetapi kenangan-kenangan mereka masih bersemayam di dalam sanubari).[83]
Dan bertolak dari bekal pengetahuan dan himbauan-himbauan Ahlul Bayt a.s. yang kaya ini, insan muslim akan berusaha menyelamatkan dirinya dari lembah kebodohan dan keterbelakangan menuju ke puncak piramida pengetahuan. Maka mulailah ia merenungkan fenomena-fenomena alam dan menyingkap rahasia-rahasianya dengan menggunakan metode eksperimen lapangan (manhaj tajribi) yang pada masa kini menjadi kebanggaan ilmu pengetahuan modern.
Gibb berkata dalam bukunya Al-Ittijahat Al-Haditsah fil Islam (Teori-teori Baru dalam Islam): “Menurut pendapat saya, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam secara teliti telah membantu kemajuan pengetahuan ilmiah. Dan dikarenakan oleh penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam itu, metode eksperimen lapangan (dalam ilmu pengetahuan) telah memasyarakat di Eropa pada abad pertengahan”.[84]
Oleh karena itu, selayaknya kita berbangga diri dengan keagungan akidah Islam yang telah mampu menciptakan revolusi peradaban dalam jiwa putera-putera padang sahara ini sehingga mereka menjadi cermin seluruh dunia dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.




Ilmu dan Iman
Akidah adalah tali penghubung antara ilmu dan iman. Oleh karena itu, ilmu tanpa imam bagaikan tanaman yang tak berbuah. Ilmu mengajak kepada iman dan iman menganjurkan para pengikutnya untuk mencari ilmu. Memisahkan keduanya akan membuahkan akibat-akibat yang buruk. Syahid Murtadla Mutahhari menulis: “Pengalaman-pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa memisahkan ilmu dari iman telah melahirkan bahaya-bahaya yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, iman harus berada di bawah lentera ilmu sehingga iman itu akan terselamatkan dari kepercayaan-kepercayaan tahayul. Dengan memisahkan ilmu dari iman, iman itu akan kering, tercemari oleh fanatisme buta, kegoncangan jiwa dan menahan laju pemiliknya (menuju tingkatan-tingkatan spiritual). Muslimin yang tidak berilmu akan diperalat oleh munafikin, sebagaimana realita pahit ini dapat kita saksikan pada kaum Khawarij di masa permulaan Islam dan masa-masa setelah itu dengan bentuk yang beraneka ragam (meskipun esensinya sama). Dan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri yang digunakan untuk mencuri barang berharga di tengah malam. Atas dasar ini, seorang alim yang tidak beriman, tidak berbeda sedikitpun dengan orang bodoh, baik ditinjau dari sisi perangai atau esensinya”.[85]
Oleh karena itu, ilmu memerlukan iman sebagaimana badan membutuhkan ruh. Karena ilmu dengan sendirinya tidak akan mampu untuk membina manusia sempurna. Ilmu hanya mampu mendidik sebagian sisi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia. Mungkin ilmu tersebut mampu untuk menjadikannya berprestasi dalam segala bidang keilmuan, akan tetapi ia tidak akan mampu untuk membinanya menjadi manusia ideal. Ilmu hanya mampu membina manusia dari satu sisi, yaitu sisi materi. Sementara iman dapat membentuk kepribadian manusia dengan berbagai dimensinya.
Bangsa Eropa berbangga diri dengan ilmu pengetahuan sehingga mereka menuhankan ilmu pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka tidak menciptakan ritus-ritus keagamaan khusus untuk ilmu pengetahuan itu. Oleh karena itu, ketika mereka melihat agama terfokuskan pada hal-hal yang ghaib, mereka menganggapnya suatu realita yang tidak ilmiah.
Atas dasar ini, muncullah satu keinginan kuat di kalangan mereka untuk memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Dan ini adalah satu realita yang tidak dapat diterima oleh agama Islam. “Dalil nyata atas adanya korelasi yang kuat antara agama dan ilmu pengetahuan (dalam agama Islam) adalah ajakan agama ini untuk menggali ilmu di setiap kesempatan dalam umur kita dan penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan dan ulama. Dan jika dalam perjalanan sejarah pernah terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, sebagaimana yang pernah dialami oleh agama Kristen, hal itu tidak ada hubungannya dengan agama. Jikapun pernah terjadi, agama itu bukanlah agama yang otentik”.[86]
Yang sangat disayangkan, ada suara-suara sumbang (di antara para pemeluk agama sendiri) yang mengumandangkan pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan alasan, bangsa Eropa ketika memisahkan diri dari agama, mereka mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Sementara kita, karena kita berpegang teguh dengan tali agama, akibatnya kita ketinggalan zaman.
Hal itu mungkin timbul dari ketidakmampuan akal mereka untuk memahami tugas ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Ilmu pengetahuan adalah satu sarana untuk menyingkap realita-realita tematis (al-haqaiq al-maudlu’iyyah) dan menjelaskan kenyataan secara netral dan jeli, tidak lebih dari itu. Atau hal itu timbul dari kebodohan mereka tentang agama Islam yang senantiasa mengajak kita untuk selalu menggali ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, orang-orang yang memiliki pendapat semacam itu pada umumnya adalah antek-antek bayaran yang selalu siap mempropagandakan statemen-statemen musuh-musuh Islam di mata dunia. Dan mereka lupa akan akibat jelek yang akan terlahirkan dari pemisahan agama dari ilmu pengetahuan ini.
“Contoh yang paling jelas dari (akibat pemisahan agama dari ilmu pengetahuan) itu adalah zaman kita sekarang ini. Satu zaman yang telah mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan materi, sementara budaya saling membunuh secara liar dan percekcokan telah memasyarakat. Sebagai akibat, putuslah korelasi antar manusia dan ketakutan melanda di mana-mana. Di samping itu, masyarakat insani telah berubah dalam memandang tujuan hidup. Tujuan hidup yang utama -menurut mereka - adalah harta dan kesenangan hidup dengan segala coraknya. Hal inilah yang mengakibatkan merajalelanya dekadensi moral dan permainan seks bebas yang binatang-binatang di sekitar kitapun muak melihat kenyataan ini”.[87]
Melihat kenyataan ini, akidah Islam memiliki peranan yang sangat besar dalam mendidik dan membina manusia. Karena akidah memandang perlunya keselarasan antara peranan agama dan ilmu pengetahuan dalam membina kepribadian manusia, dan dengan memisahkan kedua unsur penting itu, manusia laksana jarum kompas yang bergerak menunjuk arah Utara dan Selatan tergantung di mana kompas itu diletakkan. Atas dasar ini, ia sangat memerlukan satu kekuatan yang mampu mewujudkan revolusi dalam dirinya dan membekalinya dengan teori-teori etika murni yang dapat merealisasikan kemanusiaannya. Dan ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama tidak akan mampu mewujudkan hal itu.
________________________________________
[1] Al-Isra` 17 : 70.
[2] Al-Baqarah2 : 30.
[3] Al-A’raf 7 : 176.
[4] Al-Baqarah2 : 74.
[5] Lihat surah An-Nisa` 4 : 28, Al-Ma’arij 70 : 19, Al-Ahzab 33 : 72, Al-Anbiya` 21 : 37 dan Al-’Alaq 96 : 6.
[6] Al-Baqarah2 : 286.
[7] Al-Khishal, Ash-Shaduq : 417, bab at-tis’ah, cet. Jama’ah Al-Mudarrisin, Qom.
[8] Kanzul‘Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi 4 : 233, Muassasah Ar-Risalah, cet. 5.
[9] Man La Yahduruhul Faqih 4 : 21/31, bab ma yajibu fihit ta’zir wal had, Dar Sha’b, 1401 H.
[10] Al-Khisal : 33, bab al-itsnain, Jama’ah Al-Mudarrisin, Qom.
[11] Dauruddin Fi Hayatil Insan, Syekh Al-Ashifi : 50, Darut Ta’aruf, cet. 2.
[12] Al-Hujurat 49 : 13.
[13] Furu’ul Kafi 8 : 69, Dar Sha’b, cet. 3.
[14] Ma’alim Sakhsiyatil Muslim, Dr. Yahya F. : 79-80, Al-Maktabah Al-’Ashriyah, cet. 1399 H.
[15] An-Nisa` 4 : 171.
[16] Kanzul ‘Ummal 13 : hadis ke 36410.
[17] Biharul Anwar 49 : 129.
[18] Wasailusy Syi’ah 18 : 552, Dar Ihya`ut Turats Al-’Arabi, cet. 5.
[19] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 558, Hikmah ke 469.
[20] Al-Anfal 8 : 53.
[21] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 427.
[22] Ibid : 447.
[23] Ibid : 390.
[24] Fi Dhilal as-Shahifah as-Sajjadiyah, Syaikh Mughniyah : 100, Darut Ta’aruf, cet. 2.
[25] Fushshilat 41 : 37.
[26] Al-Ghasyiyah 88 : 17-20.
[27] Hud 11 : 52.
[28] Ushulul Kafi 2 : 374/2, kitab al-Iman wal Kufr, Dar Sha’b, cet. 4.
[29] Al-Khisal, Syaikh Shaduq 1-2 : 242, bab al-arba’ah, Jama’ah Al-Mudar-risin, 1403 H.
[30] Kanzul ‘Ummal 10 : 113.
[31] Ibid.
[32] Wasailusy Syi’ah 8 : 262.
[33] Wasailusy Syi’ah 8 : 268.
[34] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 105.
[35] Al-Mahajjatul Baidla`, Al-Muhaqqiq Al-Kasyani 1 : 172, kitabul ’ilm, Muassasah Al-A’lami, cet. 2.
[36] Ushulul Kafi, 1 : 11, kitab al-’Aql wal Jahl.
[37] Az-Zukhruf 43 : 22.
[38] Ibid : 23.
[39] Yunus 10 : 78.
[40] Az-Zukhruf 43 : 24.
[41] Ibid
[42] Al-Ma`idah 5 : 104.
[43] Al-A’raf 7 : 28.
[44] Asy-Syu’ara` 26 : 74.
[45] Az-Zukhruf 43 : 25.
[46] Ali Imran 3 : 190-191.
[47] Adz-Dzariyat 51 : 21-22.
[48] Yunus 10 : 101.
[49] Ath-Thariq 86 : 5.
[50] ‘Abasa 80 : 24.
[51] Al-Ghasyiyah 88 : 17-21.
[52] Al-Kasysysaf, Zamakhsyari 1 : 453.
[53] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 270-271.
[54] Al-Mukminun 23 : 115
[55] Ad-Dukhan 44 : 38-39.
[56] Ushulul Kafi 2 : 55/3, kitab al-Iman wa al-Kufr.
[57] Tanbihul Khawatir, Al-Amin Warram bin Abi Firas 1 : 250, bab at-Tafakkur, Dar Sha’b.
[58] Ali Imran 3 : 137.
[59] Al-An’am 6 : 6.
[60] Yunus 10 : 13.
[61] Al-Ahzab 33 : 62.
[62] Dauruddin fi Hayatil Insan, Syekh Mahdi Al-Asifi : 122-123, Darut Ta’aruf, cet. 2.
[63] Biharul Anwar71:325, diriwayatkan dari kitab Al-Mahasin : 26.
[64] Kanzul ‘Ummal16 : 205.
[65] Nahjul Balaghah,Shubhi Shalih : 290.
[66] Nahjul Balaghah: 296-297.
[67] Ibid : 393 - 394.
[68] Al-Baqarah2 : 179.
[69] Al-Ma`idah5 : 6.
[70] Man La Yahduruhul Faqih 3 : 369.
[71] Mizanul Hikmah 8 : 254, diriwayatkan dari kitab At-Targhib wat Tarhib 3 : 341.
[72] Muhammad 47 :24.
[73] Al-Baqarah2 : 111, An-Naml 27 : 64.
[74] Al-Kasysysaf 1 : 178.
[75] AmaliAth-Thusi : 625/1292, Muassasah Al-Bi’tsah; Biharul Anwar 39 :239/28.
[76] Az-Zumar 39 : 9.
[77] Al-Mujadalah 58 : 11.
[78] Thaha 20 : 114.
[79] Fathir 35 : 28.
[80] Ali Imran 3 :187.
[81] Kanzul ‘Ummal10 : 131/28655.
[82] Nahjul Balaghah,Shubhi Shalih : 482/hikmah 81.
[83] Ibid :496/hikmah 147.
[84] Manhajut Tarbiah Al-Islamiyah, M. Qutub : 119, Dar Dimasyq, cet 2.
[85] Al-Insan wal Iman, Syahid Mutahhari 1 : 5, cet. Kementerian Penerangan Islam.
[86] Dauruddin fi Hayatil Insan, Syeikh Al-Ashifi : 69, Darut Ta’aruf cet. 2.
[87] Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyah, M. Qutub : 115.

BAB II
PEMBINAAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN

Akidah Islam telah berhasil mewujudkan perubahan besar di bidang sosial dan pendidikan. Hal ini dapat kita lihat pada poin-poin berikut ini:

a. Membangkitkan Rasa Toleransi Sosial
Manusia periode pra-Islam dalam perilaku sosialnya dengan orang-orang sekitarnya menggunakan tolok ukur diri dan kepentingan pribadinya. Karena yang terpikir adalah diri dan kepentingan pribadinya, ia tega mengubur anak-anaknya sendiri hidup-hidup karena takut tertimpa kemiskinan dan kelaparan. Akhirnya Allah ikut campur tangan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa suci itu dari kebudayaan buruk tersebut.
Ia berfirman:
وَلاَ تَقْـتُلُوْا أَوْلاَدَكُمْ خَشْـيَةَ إِمْلاَقٍ
(Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan).[1]
Dan yang menakjubkan, manusia Jahiliah yang perhatiannya terpusat pada diri dan kepentingan pribadinya itu, ketika menyicipi ramuan-ramuan Islam (berkenaan dengan kehidupan dan tata cara hidup), ia rela mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk kepentingan agama dan masyarakatnya.
Setiap orang mengetahui pengorbanan orang-orang Anshar untuk Muhajirin. Mereka mengorbankan setiap apa yang dimiliki kepada Muhajirin yang tidak bersanak-saudara tersebut, baik rumah atau kekayaan-kekayaan mereka yang lain. Tingkat pengorbanan dan rasa peduli sosial itu tidak terbatas pada individu saja, akan tetapi rasa peduli sosial itu telah menjadi budaya masyarakat kala itu, satu hal yang belum pernah disaksikan oleh sejarah manusia.
Allah SWT telah mengabadikan budaya masyarakat yang mulia itu di dalam Alquran sebagai budaya ideal sepanjang sejarah. Ia berfirman:
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِيْنَ الَّذِيْنَ أُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُوْنَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ | وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَاْلإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلاَيَجِدُوْنَ فِي صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
(Juga bagi orang-orang fakir yang berhijrah dari kampung halaman dan harta benda mereka (karena) mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, serta menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap segala sesuatu yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang diberikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung).[2]
Islam telah membinaskan seluruh pilar dan pondasi masyarakat jahiliyah yang dibangun di atas pemilahan kasta dan kabilah dalam dua kasta: kasta kaum ningrat (al-asyraf) dan kasta kaum hamba sahaya. Kaum ningrat berhak untuk memiliki segala corak kehormatan dan kekayaan, sedangkan kaum hamba sahaya, hanya berhak untuk mengabdi kepada kaum ningrat.
Akhirnya Islam datang menghancurkan budaya pembudakan manusia itu dan menggantikannya dengan budaya baru yang menyamaratakan semua manusia dalam memiliki hak hidup dan kemuliaan. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْـثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa).[3]
Maka dengan konsep persamaam kasta di atas, kasta hamba sahaya memiliki kemerdekaan penuh dan mendapatkan hak hidup yang layak. Dengan konsep Islam itu juga Ammar, Salman dan Bilal telah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan para pemilik kasta terhormat Quraisy yang kala itu masih bergelimangan dalam kesesatan Jahiliah, seperti Walid bin Mughirah, Hisyam bin Hakam, Abu Sufyan dan lain-lainnya.
Bahkan dengan konsep tersebut pula, harta kekayaan tidak hanya menimbun di gudang-gudang orang-orang kaya.
Allah SWT berfirman: “Setiap harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka harta itu adalah hak Allah, Rasul-Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. (Hal ini dimaskudkan) supaya harta itu jangan hanya beredar di antara kamu yang kaya. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras siksaan-Nya”.[4]


Metode Menumbuhkan Rasa Peduli Sosial
Akidah Islam telah menumbuhkan rasa peduli sosial dalam sanubari setiap individu dengan berbagai metode dan cara, antara lain:
1. Membangkitkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap nasib orang lain (dalam sanubari setiap individu).
Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan dan penekanan Alquran dan hadis-hadis ma’shumin a.s. di bawah ini akan pentingnya hal itu.
Allah SWT: “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian), karena mereka akan ditanya”.[5] Dan dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluargamu dari (sengatan) api neraka”.[6]
Rasulullah saww bersabda: “Sesungguhnya aku memiliki tanggung jawab, kamu juga memiliki tanggung jawab”.[7]
Dalam hadis yang lain beliau juga pernah bersabda: “Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin, dan setiap orang dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib orang-orang yang dipimpinnya. Setiap orang yang memegang urusan sekelompok manusia adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas nasib rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib keluarganya. Seorang istri hendaknya mengurus rumah suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib mereka”. [8]
Amirul mukminin a.s. berkata: “Takutlah kepada Allah berkenaan dengan hamba-hamba dan negeri-Nya ini, karena kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas tanah dan binatang (yang kamu miliki, apalagi atas hamba-hamba dan negeri-Nya itu)”.[9]
Sebagai perbandingan, kita melihat bahwa aliran-aliran pemikiran sosial hasil rekayasa otak manusia biasa hanya mementingkan rasa tanggung jawab setiap individu (terhadap masyarakatnya di dunia ini saja). Dan bertolak dari cara berpikir semacam ini, para pencetus aliran-aliran pemikiran tersebut (demi merealisasikan teori tersebut di atas bumi ini), terpaksa menulis serentetan undang-undang resmi yang diharapkan akan mampu merealisasikan tujuan mereka itu, seperti pengekangan kebebasan, penyiksaan, pendendaan dengan uang, pemecatan dari tugas, penaikan pangkat dan lain sebagainya. Dan ada kalanya respon masyarakat yang beraneka ragam juga mampu untuk mengontrol setiap individu supaya melaksanakan tanggung jawabnya sebaik-baiknya, seperti kepercayaan dan penghargaan masyarakat kepadanya atau penghinaan mereka terhadapnya.
Adapun agama Islam, ia tidak hanya mementingkan tanggung jawab individu terhadap masyarakatnya di dunia saja, akan tetapi ia juga berusaha untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab di dalam sanubarinya terhadap Penciptanya di dunia lain kelak. Dengan ini, ia akan berusaha untuk menguasai hawa nafsunya dan peduli terhadap orang lain tanpa harus ada undang-undang resmi dan respon masyarakat atau rasa iba yang memaksanya.

2. Menumbuhkan jiwa berkorban dan lebih mementingkan orang lain.
Alquran yang mulia menganjurkan para pengikutnya untuk lebih mementingkan orang lain dari dirinya sendiri dan memuji jiwa berkorban yang dimiliki oleh muslimin. Ketika Imam Ali a.s. rela mengorbankan jiwanya demi Rasulullah saww hidup dengan tidur di atas ranjang beliau (pada peristiwa Lailatul Mabit), Allah SWT memuji jiwa berkorban yang ia miliki tersebut dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ وَاللهُ رَؤُوْفٌ بِالْعِبَادِ
(Dan ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya demi mencari keridlaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya).[10]
Al-Fakhrur Razi menulis: “Ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib a.s. ketika ia tidur di atas ranjang Rasulullah saww di malam keluarnya beliau menuju goa Tsaur. Diriwayatkan, ketika ia tidur di atas ranjang beliau, Jibril berdiri di arah kepalanya dan Mika`il di arah kakinya. Jibril bersabda: `Alangkah bahagianya engkau, hai Ali bin Abi Thalib. Allah telah membanggakanmu di hadapan malaikat`. Lalu turunlah ayat itu”.[11]
Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa Rasulullah saww adalah suri teladan utama dalam mementingkan orang lain dan jiwa berkorban. Diriwayatkan, beliau tidak pernah makan hingga kenyang selama tiga hari berturut-turut sampai beliau wafat. Jika beliau menghendaki, semua kekayaan berada di bawah tangan beliau.[12]
Perilaku dan perangai beliau ini dapat kita lihat dengan jelas pula dalam tingkah laku dan perangai Ahlul Bayt a.s. Mereka berjalan di atas jejak beliau dan merealisasikan sabda-sabda beliau dalam bentuk praktek nyata.
Muhammad bin Ka’b Al-Quradli berkata: “Aku pernah mendengar Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: “Engkau pernah melihatku mengikat batu di atas perutku karena lapar, dan sedekah (yang telah aku berikan kepada orang-orang yang berhak, jika dibandingkan dengan nilai mata uang) sekarang, sama dengan empat ribu dinar”.[13]
Semua itu, karena beliau tidak ingin mementingkan diri sendiri. Akan tetapi sebaliknya, beliau ingin mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi beliau.
Abu Nawwar, seorang penjual pakaian berkata: “Ali bin Abi Thalib a.s. pernah datang ke kedaiku bersama seorang pembantunya. Ia membeli dua baju dariku, lalu ia berkata kepada pembantunya: `Pilihlah mana yang kamu sukai`. Pembantu itu mengambil salah satunya dan ia sendiri mengambil sisanya lalu memakainya”.[14]
Dan di antara bukti-bukti sejarah yang menunjukkan adanya perombakan sosial besar yang telah diciptakan oleh akidah Islam dalam tempo yang sangat singkat adalah realita berikut ini. Di suatu hari seseorang memberi hadiah seekor kambing kepada salah seorang sahabat Rasulullah saww. Ketika menerima hadiah itu ia berkata: “Sesungguhnya saudaraku si Fulan lebih memerlukan hadian ini daripada saya”. Lantas ia pergi memberikan hadiah itu kepada saudaranya yang lebih memerlukan itu. Si Fulan itu mengatakan hal yang sama. Kejadian ini terus berulang sampai tujuh kali hingga akhirnya hadiah tersebut kembali kepada orang pertama.[15]
Demikianlah akidah Islam mendidik insan muslim untuk memiliki rasa peduli sosial setiap individu terhadap orang lain. Satu rasa peduli yang pada langkah awalnya harus dimulai dari kepedulian seseorang terhadap anggota keluarganya, tetangga, anggota negara, umat seagamanya dan kemudian umat manusia secara keseluruhan.

3. Menumbuhkan rasa kebersamaan.
Sehubungan dengan hal di atas, kita memiliki beberapa hadis yang menganjurkan setiap individu untuk hidup bersama dan tidak memisahkan diri dari masyarakat (jama’ah). Hal ini karena telah terbukti secara nyata bahwa hidup bersama akan menyebabkan kokohnya pondasi masyarakat, dan Allah SWT akan menganugerahkan kebaikan dan berkah kepada sebuah masyarakat yang hidup bersama.
Rasulullah saww bersabda:
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَالشَّيْطَانُ مَعَ مَنْ خَالَفَ الْجَمَاعَةَ يَرْكُضُ
(Allah bersama kelompok, sedangkan syaitan bersama orang-orang yang menentang hidup berkelompok).[16]
Dalam hadis lain beliau bersabda: “Barang siapa yang keluar dari (hidup ber)-kelompok satu jengkal, maka ia telah melepaskan dirinya dari tali Islam”.[17]
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Islam adalah agama sosial yang selalu berusaha semaksimal mungkin merangsang setiap individu hidup secara berkelompok.
Sangat disayangkan, pemerintahan-pemerintahan yang zalim dalam rangka mengokohkan kekuasaan dan singgasana mereka, mereka telah menyalahgunakan maksud kosa kata “kelompok” (jama’ah) tersebut. Mereka mencurahkan seluruh amarah mereka kepada setiap orang yang menyuarakan kebenaran, bersikap menentang kekuasaan dan menjelek-jelekkan cara-cara mereka yang tidak Islami (dengan tuduhan ia telah keluar dari jama’ah).
Sebagai contoh, Bani Umayyah telah membunuh setiap orang yang menentang mereka dengan tuduan ia telah keluar dari jama’ah. Begitu juga Bani Abbas telah menggunakan metode yang pernah digunakan oleh Bani Umayyah dalam usaha memberantas orang-orang yang menentang mereka. Bahkan mereka memiliki tehnik-tehnik pembunuhan dan penyiksaan lebih kejam dari Bani Umayyah.
Setiap orang yang mau menelaah buku-buku sejarah, ia akan menemukan tehnik-tehnik penyiksaan dan pembunuhan keji yang pernah dipraktekkan oleh Bani Umayyah dan Bani Abbas terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib a.s. Hal ini karena mereka menganggap bahwa keturunan Ali bin Abi Thalib a.s. tersebut telah keluar dari jama’ah.
Rasulullah saww telah menjelaskan maksud dari kosa kata jama’ah secara gamblang. Jama’ah - sebagaimana yang diartikan oleh orang-orang yang berpikiran dangkal dan diselewengkan oleh para penguasa - tidak memiliki arti mayoritas. Akan tetapi, yang dimaksud dengan jama’ah (dalam hadis-hadis di atas) adalah kelompok ahli kebenaran meskipun secara kuantitas mereka sedikit.
Sehubungan dengan hal itu Rasulullah saww bersabda: “Barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah muslimin, maka ia telah melepaskan diri dari tali Islam”. “Wahai Rasulullah, siapakah jama’ah muslimin itu?”, tanya salah seorang sahabat. Beliau menjawab: “(Jama’ah muslimin adalah) kelompok ahli kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit”.[18]
Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa akidah Islam menyeru setiap individu muslim untuk bergabung dengan jama’ah. Akan tetapi, ada beberapa hadis dalam buku-buku referensi keislaman kita yang menyeru muslimin untuk ber-’uzlah (mengasingkan diri) dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Pengarang buku “Jami’us Sa’adaat”, Syaikh An-Naraqi telah menjawab kontradiksi kedua kelompok hadis tersebut. Ia menulis: “Ulama generasi pertama memandang ke-mutlaq-kan[19] hadis-hadis yang memuji ‘uzlah dan menerangkan faedah-faedahnya, (kemudian mereka menganjurkan setiap individu untuk ber-’uzlah dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun). Seperti sabda Nabi saww: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang bertakwa dan mengucilkan diri”. Atau sabda Nabi saww yang lain: “Manusia yang paling utama adalah seorang mukmin yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah SWT dan orang yang mengasingkan diri di kaki-kaki gunung”. Dan perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.: “Zaman telah rusak dan persaudaraan telah berubah. Menyendiri adalah jalan untuk menentramkan hati”. Atau ucapan beliau yang lain: “Sedikitkanlah pengetahuanmu dan jauhilah orang yang kamu kenal”.
Yang benar, keutamaan hidup bersama atau ber-’uzlah tergantung kepada masing-masing pribadi, situasi, zaman, dan tempat. Oleh karena itu, (demi menghukumi bahwa hidup bersama adalah lebih utama dari ber-’uzlah atau sebaliknya), hendaknya kita melihat masing-masing individu dan situasinya. Dimungkinkan untuk sebagian orang ber-’uzlah lebih utama dan untuk sebagian yang lain meleburkan diri dalam masyarakat lebih utama. Dan dimungkinkan juga, sebagian orang harus menjaga kestabilan antara keduanya;yaitu di samping ia harus meleburkan diri dalam masyarakat, ia juga harus memiliki kesempatan untuk ber-’uzlah”.[20]
Kita bisa menyesuaikan antara dua kelompok hadis yang secara lahiriah kontradiktif itu dengan jawaban lain di samping jawaban yang telah diajukan oleh Syaikh An-Naraqi. Hadis-hadis yang menganjurkan kita untuk ber-’uzlah tersebut, dapat kita artikan dengan beberapa arti, antara lain: pertama, hadis-hadis tersebut menganjurkan kita untuk beribadah dengan penuh khusyu’, dan ibadah semacam ini menuntut kita untuk menjauhi masyarakat beberapa waktu demi memusatkan pikiran kita kepada Allah semata.
Tentu saja, arti ini tidak dapat diterapkan atas semua jenis ibadah. Sebagai contoh, ibadah Haji adalah sebuah ibadah yang memiliki corak sosial. Dalam ibadah Haji manusia berkumpul dari segala penjuru di satu tempat dan waktu yang terbatas untuk menunaikan manasik yang satu.
Kedua, hadis-hadis tersebut memerintahkan kita untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang berperangai jelek dan jahat. Sebagai qarinah (alasan semantis) untuk arti ini adalah wasiat Rasulullah saww kepada Abu Dzar r.a.:
يَا أَبَا ذَرٍّ، اَلْجَلِيْسُ الصَّالِحُ خَيْرٌ مِنَ الْوَحْدَةِ، وَالْوَحْدَةُ خَيْرٌ مِنْ جَلِيْسِ السُّوْءِ
(Wahai Abu Dzar, berteman dengan orang yang shalih lebih dari pada menyendiri, dan menyendiri lebih baik dari pada berteman dengan orang yang jahat).[21]
Adapun bergaul dan berkumpul dengan orang-orang yang baik - sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya - adalah satu hal yang dianjurkan oleh Islam. Secara universal dapat kita katakan, Islam menganjurkan kita untuk bergaul dengan masyarakat dan sabar atas segala gangguan mereka. Meskipun terdapat kondisi-kondisi tertentu yang mengharuskan kita untuk menyendiri.
Dalam kaitannya dengan hal itu Rasulullah saww bersabda:
اَلْمُؤْمِنَ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
(Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakatnya dan sabar atas segala gangguan mereka lebih utama dari seorang mukmin yang mengucilkan diri dari masyarakatnya dan tidak sabar atas segala gangguan mereka).[22]
Atas dasar ini, Islam mengecam ‘uzlah total dari masyarakat, dengan alasan apapun, baik untuk beribadah atau lainnya. Karena dalam Islam kita tidak diperkenankan untuk mempraktekkan kerahiban.
Pada suatu hari Rasulullah saww tidak melihat salah seorang sahabat (yang biasanya sering hadir menghadap beliau). Beliau meminta salah seorang sahabat yang lain untuk memanggilnya. Ketika sampai di hadapan beliau, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya ingin pergi ke gunung itu demi berkhalwat dan beribadah di dalamnya”. Maka Rasulullah saww menimpali: “Kesabaran salah seorang dari kamu sesaat terhadap musibah yang menimpanya di sebagian negeri Islam ini adalah lebih utama dari beribadah menyendiri selama empat puluh tahun”.[23]
Ringkasnya, terdapat beberapa situasi dan kondisi yang menuntut setiap individu untuk bergabung dengan jama’ah dan meleburkan diri di dalamnya, seperti jihad, shalat berjama’ah di masjid dan belajar di pusat-pusat pendidikan.


b. Merubah Sistem Hubungan Sosial
Masyarakat Jahiliah memandang hubungan darah dan rahim sebagai dasar hubungan sosial. Oleh karena itu, ketika terjadi kontradiksi antara kebenaran dan kepentingan suku, mereka lebih mengutamakan kepentingan suku atas kebenaran itu. Alquran yang mulia secara tegas mencela fanatisme model Jahiliyah ini.
Allah SWT berfirman:
إِذْ جَعَلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِي قُلُوْبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللهُ سَكِيْنَتَهُ عَلَى رَسُوْلِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ ...
(Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan Jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan mukminin).[24]
Akidah Islam telah berusaha untuk menghilangkan segala jenis fanatisme dari sanubari manusia dan tidak mengakui keturunan, ras kulit, harta dan jenis kelamin sebagai tolok ukur keutamaannya dari manusia lain. Sebagai gantinya, akidah Islam menganjurkan agar hubungan sosial masyarakat dilandasi oleh asas-asas spiritual, yaitu takwa dan fadlilah. Atas dasar ini, akidah Islam ingin membasmi segala bentuk dan corak fanatisme. Karena iman dan fanatisme tidak akan pernah bertemu.
Abu Abdillah a.s. berkata: Rasulullah saww bersabda: “Barang siapa yang memiliki sifat fanatik atau rela orang lain bersikap fanatik terhadapnya, niscaya ia telah melepaskan diri dari tali iman”.[25]
Beliau juga berkata:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا اِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
(Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak orang lain untuk bersikap fanatik, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang dengan didorong oleh semangat fanatisme dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati dalam keadaan fanatik”.[26]
Amirul Mukminin a.s. dalam sebuah khotbah beliau yang dikenal dengan nama “Al-Qashi’ah” menawarkan sebuah obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit fanatisme itu. Beliau berkata: “Sungguh aku telah meneliti, dan aku tidak menemukan seseorang di dunia ini yang bersikap fanatik terhadap sesuatu kecuali karena satu alasan yang mungkin disalah pahami oleh orang-orang bodoh atau hujah yang biasa digunakan oleh orang-orang yang tolol. Kamu jika bersikap fanatik terhadap sesuatu, (ketahuilah) setiap fanatik itu tidak memiliki sebab dan landasan (yang tepat);Iblis membanggakan diri kepada Adam as karena asalnya dan mencelanya karena penciptaannya. Ia berkata (dengan congkaknya):`Saya terbuat dari api, sedangkan engkau dari tanah`. Orang-orang kaya yang berlagak hidup mewah di muka bumi ini merasa bangga karena kenikmatan yang dimilikinya. Mereka berkata (dengan congkaknya): `Kami lebih banyak mempunyai harta dan keturunan daripada kamu, dan kami tidak akan pernah disiksa`.
Maka, jika kamu harus bersikap fanatik dan bangga diri, berbangga dirilah karena perangai yang mulia dan perbuatan yang terpuji. Berbangga dirilah karena kalian mampu menunaikan (hak-hak) tetangga, setia terhadap janji, patuh dalam kebaikan, menentang kesombongan, memiliki keutamaan, mencegah kezaliman, berhenti mengucurkan darah orang lain, berbuat bijak terhadap setiap makhluk, menahan amarah dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini”.[27]
Ali bin Husein a.s. ketika beliau ditanya mengenai fanatisme, menjelaskan arti fanatisme (‘ashabiyah), fanatisme yang terkutuk dan yang terpuji. Beliau berkata: “Fanatisme yang menyebabkan dosa, jika seseorang menganggap kaumnya yang jahat lebih utama dari kaum yang shalih. Dan tidak termasuk fanatisme yang menyebabkan dosa jika seseorang yang mencintai bangsanya. Akan tetapi, termasuk fanatisme yang menyebabkan dosa ketika seseorang membantu kaumnya berbuat kezaliman”.[28]
Demikianlah, akidah Islam telah menyirnakan awan fanatisme yang hitam dari sanubari mukminin, dan membentuk identitas baru bagi manusia yang berlandaskan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, akidah Islam telah menebarkan cinta dan rahmat (di dunia ini) sebagai ganti dari fanatisme dan kebencian. Karena fanatisme adalah salah satu faktor berbahaya yang dapat menyebabkan perpecahan dan kelemahan muslimin, baik secara spiritual atau material. Dan Islam telah memerangi fanatisme berbahaya itu dan selalu mengingatkan muslimin akan efek-efek negatifnya.[29]
Di antara contoh-contoh perombakan sosial paling menonjol yang pernah dilakukan oleh Islam adalah naiknya pribadi-pribadi kelas bawah pada periode pra-Islam ke puncak piramida sosial setelah bersinarnya matahari Islam. Bilal Al-Habasyi menjadi muazzin Rasulullah saww dan Salman Al-Farisi r.a. menjadi salah seorang sahabat yang agung pada era Islam dan penguasa negeri-negeri yang luas. Dan lebih dari itu, ia menjadi anggota Ahlul Bayt a.s.
Seseorang bertanya kepada Imam Ali a.s.: “Wahai Amirul Mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang Salman Al-Farisi”. Beliau menjawab: “Berbahagialah ia. Salman adalah salah satu dari kami, Ahlul Bayt dan bagaikan Lukman Al-Hakim bagi kalian ...”.[30]
Zaid bin Haritsah dan putranya, Usamah - menurut pembagian kasta masyarakat Jahiliyah - harus menjadi budak yang layak diperjual-belikan. Akan tetapi, berkat Islam, mereka telah ditunjuk untuk memimpin pasukan muslimin dalam dua peperangan agung dalam sejarah Islam.
Perubahan besar dalam alam pemikiran manusia di era risalah Islam yang sangat pendek ini, tidak mudah terwujud tanpa peran transformasi hebat yang diperankan oleh akidah Islam.

c. Anjuran untuk saling Membantu dan Mengenal
Akidah Islam telah berhasil mengubah setiap individu masyarakat dari kondisi persaingan dan pertentangan menuju kondisi saling membantu. Alquran sebagai sumber pertama akidah menganjurkan manusia untuk hidup bersama dan saling mengenal.
Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
(Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan wanita, dan Kami menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu seling mengenal. Sesunggunya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa).[31]
Begitu juga Alquran menganjurkan manusia untuk saling tolong menolong. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوِانِ
(Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran).[32]
Pengalaman manusia telah membuktikan bahwa saling tolong menolong akan mewujudkan kekuatan dan kemajuan. Masyarakat Jahiliah yang terbelakang dan hidup dalam kondisi pergolakan yang terus menerus karena faktor fanatisme suku, pelampiasan hawa nafsu, kepentingan pribadi atau pemonopolian sebagian mereka terhadap sumber-sumber makanan dan air, berkat Islam mereka dapat menikmati suasana hidup baru yang dihiasi oleh semangat tolong menolong dan saling membantu.
Dalam sejarah Rasulullah saww, sebagai sumber peradaban dan motivator kebangkitan, kita dapat menemukan banyak bukti tentang kecintaan beliau untuk menolong orang lain dan beliau menganjurkan kepada setiap anggota masyarakat untuk melestarikan semangat tolong menolong ini dalam hidup bermasyarakat. Antara lain:
Dalam sebuah perjalanan Beliau memerintahkan sahabat untuk menyembelih kambing. Salah seorang diantara mereka berkata: “Saya yang akan menyembelih kambing”. Yang lain menimpali: “Saya yang akan mengulitinya”. “Saya yang akan memotong-motongnya”, kata orang ketiga tidak mau kalah. “Saya yang memasaknya”, kata orang keempat tegas. (Melihat sahabat bersemangat), Rasulullah saww bersabda: “Aku yang akan memungut kayu bakar untuk kalian”. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, demi ayah dan ibu kami, janganlah engkau bersusah payah, kami sudah cukup”.
Rasulullah saww menjawab: “Aku tahu bahwa kalian sudah cukup dan bisa mengerjakan semuanya, akan tetapi Allah tidak menyukai seorang hamba yang berpergian bersama sahabat-sahabatnya dan ia tidak mau sibuk membantu”. Selesai bersabda demikian, beliau berdiri dan memungut kayu bakar untuk mereka.[33]
Sebagaimana Rasulullah saww tidak menyukai orang yang menyendiri dari masyarakat dan tidak mau meleburkan diri bersama mereka dalam aktifitas sosial, beliau juga tidak menyukai seseorang yang menjadi beban masyarakat.
Para sahabat bercerita kepada Nabi saww mengenai seorang sahabat. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, ia pergi bersama kami untuk melaksanakan haji. Jika kami turun (untuk istirahat), ia selalu mengagungkan Allah hingga kami melanjutkan perjalanan. Dan jika kami mulai bergerak, ia senantiasa berzikir kepada Allah hingga kami turun (untuk istirahat)”. Rasulullah saww bertanya: “Siapakah yang memberi makan hewan tunggangannya dan memasak makanannya?” “Kami”, jawab mereka serentak. Rasulullah saww bersabda: “Kalian lebih utama darinya”.[34]
Mazhab Ahlul Bayt a.s. memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip kerja sama dan rasa solidaritas dalam sanubari manusia dan perilakunya. Sebagai contoh, Imam Ali bin Husein a.s., jika malam telah tiba dan para penduduk tidur pulas, beliau mengumpulkan sisa-sisa belanja keluarganya hari itu dan memasukkannya ke dalam kantong kulit lalu memanggulnya di atas pundaknya seraya berkeliling menuju rumah para fakir miskin membagikan-bagikan makanan tersebut kepada mereka dengan menutupi wajahnya. Dan sering kali mereka telah menunggu kedatangan beliau di depan pintu rumah mereka. Ketika mereka melihat beliau datang, mereka senang dan gembira seraya berkata: “Telah datang pemilik kantong”.[35]
Imam Al-Kadhim a.s. mencari para fakir miskin Madinah di malam hari. Setelah itu beliau memanggul keranjang yang berisi uang, rempah-rempah dan kurma, dan membagi-bagikannya kepada meraka. Mereka tidak tahu dari mana semua itu. Dan jika beliau mendengar seseorang tertimpa musibah, beliau mengirimkan sebungkus uang dinar kepadanya.[36]
Para imam ma’shum a.s. menganjurkan para pengikut mereka - secara khusus - untuk mewujudkan kerja sama dan semangat tolong menolong yang ideal di antara mereka. Sa’id bin Al-Hasan berkata: “Abu Ja’far a.s. berkata: `Apakah pernah salah seorang di antara kalian datang kepada saudaranya, lalu ia memasukkan tangannya ke dalam kantong uangnya (untuk mengambil uang dari kantong tersebut) demi menutupi hajatnya dan ia membiarkannya?` `Saya tidak pernah melihat hal itu terjadi di antara kami`, jawabku. Beliau berkata: `Jika begitu, mereka masih belum mencapai kesempurnaan`.[37]
Imam Ash-Shadiq a.s. adalah suri teladan ideal dalam membantu orang lain. Al-Fadhl bin Qurrah berkata: “Abu Abdillah a.s. membentangkan rida`-nya yang berisi bungkusan-bungkusan dinar. Lalu beliau berkata kepada utusan beliau: `Bawalah uang ini ke Fulan dan Fulan, dan katakan kepada mereka: `Kiriman ini datang dari Iraq`”. Al-Fadll melanjutkan ceritanya: “Maka utusan tersebut pergi dengan membawa uang itu kepada mereka dan menyampaikan pesan Imam tersebut. Mereka berkata kepadanya: `Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan karena hubunganmu yang dekat dengan kerabat Rasulullah saww. Adapun Ja’far, maka Allah yang akan menghukumi antara kami dan dia`. Mendengar hal itu, beliau jatuh bersujud seraya berkata: `Ya Allah, hinakanlah aku karena putera-putera ayahku`”.[38]
Imam Ash-Shadiq a.s. dengan cermat menentukan kriteria-kriteria penghambaan dan sosial para pengikut beliau. Beliau pernah berkata kepada Jabir: “Wahai Jabir, apakah cukup seorang penganut Syi’ah mengakatan saya cinta Ahlul Bayt? Demi Allah, Syi’ah kami adalah orang yang bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya. Wahai Jabir, mereka dikenal rendah hati, khusyu’, memegang amanat, banyak berzikir kepada Allah, berpuasa, berbakti kepada orang tua, membantu para fakir miskin, orang yang punya utang dan anak-anak yatim, jujur dalam berbicara, membaca Alquran dan tidak membicarakan orang lain kecuali kebaikannya ...”.[39]
Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Ketika aku duduk bersama Abu Abdillah a.s., masuklah seorang sahabat seraya mengucapkan salam. Beliau bertanya kepadanya: `Bagaimana keadaan saudara-saudaramu ketika kamu tinggalkan mereka?` Ia menjawab dengan memuji mereka. `Apakah orang-orang kaya (di daerahmu) mengunjungi para fakir miskin?`, tanya beliau lagi. `Sedikit`, jawabnya. `Apakah orang-orang kaya (di daerahmu) pergi melihat keadaan orang-orang miskin?`, tanya beliau lagi. `Sedikit`, jawabnya lagi. Beliau bertanya lagi: `Apakah orang-orang kaya (di daerahmu) menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang fakir?`. Ia menjawab: `Anda menanyakan kriteria-kriteria yang jarang dilakukan oleh kami`. Akhirnya beliau berkata: `Bagaimana engkau mengatakan bahwa mereka adalah Syi’ah kami?`”.[40]
Atas dasar ini, kita tahu bahwa konsep saling tolong menolong dan rasa solidaritas menjadi perhatian utama para imam as. Karena rasa saling tolong menolong adalah satu-satunya cara untuk membentuk sebuah masyarakat yang tentram dan damai jauh dari persengketaan.
Sebagai bukti nyata, masyarakat Arab Jahiliah yang berpecah belah dan tidak memiliki nama di mata dunia, berkat risalah Islam masyarakat tersebut bersatu dan berwibawa.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, Imam Ali a.s. berkata: “Bangsa Arab sekarang kendatipun (secara kuantitas) sedikit, namun berkat Islam (secara kualitas) mereka banyak dan kokoh berkat hidup bersatu?’.[41]

d. Merombak Tradisi-tradisi Jahiliyah
Akidah Islam mempunyai peran besar dalam merombak dan merubah tradisi-tradisi yang dapat merendahkan kemulian manusia dan menimbulkan segala bentuk kesukaran dan kebinasaan. Rasulullah saww dan Ahlul Bayt a.s. adalah orang pertama yang melakukan perombakan besar-besaran atas tradisi-tradisi itu. Beliau bersabda: “(Untuk menghormati orang lain), janganlah kalian berdiri sebagiamana orang-orang ‘Ajam[42] melakukan hal itu ...”.[43]
Nabi saww berusaha menyebarkan dan mengokohkan tradisi-tradisi baru yang mendidik. Abu Abdillah a.s. berkata: “Rasulullah saww jika memasuki sebuah rumah, beliau duduk di deretan terakhir”. Rasulullah saww bersabda: “Jika salah seorang dari kalian memasuki sebuah majlis, hendaklah ia duduk di deretan terakhir”.[44]
Beliau saww telah melakukan perombakan tradisi-tradisi kehidupan dalam berbagai dimensinya;dalam tata cara berdiri, duduk, makan, minum, berpakaian dan lain-lain.
Imam Ali a.s. telah melakukan hal serupa. Beliau telah bersusah payah untuk merombak sisa-sisa tradisi Jahiliah yang tidak sesuai dengan agama Islam dan mengajak masyarkat untuk membasmikan segala bentuk pemaksaaan diri dalam menghormati orang lain yang hasilnya hanya menambah keresahan masyarakat dan munculnya penghalang antara orang yang alim dan bodoh, orang yang kaya dan miskin, dan antara hakim dan rakyat jelata. Sebagai bukti atas usaha Imam Ali a.s. ini, ketika beliau dalam perjalanan menuju Syam, beliau bertemu dengan para pejabat kota Al-Anbar. Ketika mereka melihat Imam Ali a.s., mereka turun dari kuda tunggangan mereka dan membungkukkan badan di hadapan beliau. Melihat perlakuan yang aneh itu beliau berkata: “Apa yang sedang kalian lakukan?” Mereka menjawab: “Ini adalah tradisi kami ketika menghormati para pemimpin kami”. Beliau berkata dengan tandas: “Demi Allah, para pemimpin kalian tidak akan mendapatkan manfaat dari perlakuan semacam ini. Kalian hanya menyusahkan diri di dunia ini (dengan perlakuan semacam ini), dan di akheratpun kalian akan menghadapi kesengsaraan (karena tradisi ini). Alangkah ruginya sebuah kesulitan yang dibaliknya terdapat siksa dan alangkah beruntungnya sebuah kehidupan (tentram yang tidak diiringi oleh pemaksaan diri) yang tidak berakibat siksa neraka”.[45]
Beliau memiliki wasiat-wasiat bernilai yang dapat memberikan andil besar dalam membina manusia dan menanamkan tradisi-tradisi hasanah dalam perilakunya.
Di antara wasiat-wasiat beliau itu: “Hai manusia, didiklah jiwa-jiwamu dan luruskanlah jiwa-jiwa itu dari tradisi-tradisinya yang jelek”.[46]
Semua itu ditujukan untuk merealisasikan perombakan sosial yang menjadi cita-cita akidah Islam. Dan jelas bahwa menginginkan sebuah perombakan sosial tanpa perombakan internal jiwa dan tradisi-tradisi setiap individu, adalah hal yang mustahil, seperti kita ingin membangun sebuah bangunan tanpa pondasi.

Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَـيِّر مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَـيِّرُوْا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri).[47]
Allamah Sayid Syahid Muhammad Baqir Shadr menulis: “Faktor intern (ad-dafi’ adz-dzati) adalah penyebab utama munculnya problema-problema sosial. Dan faktor ini adalah sesuatu yang orisinil dalam diri manusia, karena faktor tersebut timbul dari kecintaannya terhadap dirinya. Di sini, muncul peran agama untuk memberikan solusi mujarab bagi problem-problema itu. Dan solusi tersebut harus mempertimbangkan antara faktor-faktor intern tersebut dan kemaslahatan masyarakat umum”.[48]



________________________________________
[1] Al-Isra` 17 : 31.
[2] Al-Hasyr 59 : 8-9.
[3] Al-Hujurat 49 : 13.
[4] Al-Hasyr 59 : 7.
[5] Ash-Shaffat 37 : 24.
[6] At-Tahrim 66 : 6.
[7] Kanzul ‘Ummal 5 : 289.
[8] Shahih Muslim 3 : 1459, Kitab al-Imarah, Dar Ihya`it Turats, cet.1.
[9] Nahjul Balaghah, khotbah 167.
[10] Tafsir Majma’ul Bayan 1 : 174, surah Al-Baqarah 2 : 207.
[11] At-Tafsirul Kabir 5 : 223.
[12] Tanbihul Khawathir, Amir Al-Warram 1 : 172, bab al-itsar.
[13] Usudul Ghabah, Ibnu Atsir 4 : 102/3783, Dar Ihya`it Turats.
[14] Ibid 4 : 103.
[15] Asbabun Nuzul, Abul Hasan An-Naisaburi : 281, Intisyarat Ar-Radli.
[16] Kanzul ‘Ummal 1 : 206.
[17] Ibid 1 : 206/1035.
[18] Raudhatul Wa’idhin, Fattal An-Naisaburi : 334, Mansurat Ar-Radli, Qom.
[19] Mutlaq dalam konteks di atas adalah satu istilah dalam ilmu Ushul Fiqih, kebalikan dari Muqayyad. (Pen.)
[20] Jami’us Sa’adaat, An-Naraqi 3 : 195-197, percet. An-Najaf Al-Asyraf 1383 H, cet. 2.
[21] Makarimul Akhlak, Thabarsi : 466, Muassasah Al-A’lami, cet. 6.
[22] Kanzul Ummal 1 : 154/769.
[23] Kanzul Ummal 4 : 454/11354.
[24] Al-Fath 48 : 26.
[25] Ushulul Kafi 2 : 308/2, Bab al-’Ashabiyyah.
[26] Sunan Abu Dawud 2 : 332/4, Bab Fil ‘Ashabiyyah.
[27] Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid 13 : 166, Dar Ihya`it Turats Al-Arabi, cet. 2.
[28] Ushulul Kafi 2 : 308/7, Bab Al-’Ashabiyyah, Kitab al-Iman wal Kufr.
[29] Akhlaq Ahlil Bayt as, Sayyid Mahdi Shadr : 70.
[30] Al-Ihtijaj, Thabarsi 1 : 260.
[31] Al-Hujurat 49 : 13.
[32] Al-Ma`idah 5 : 2.
[33] Makarimul Akhlak, Thabarsi : 251-252, Muassasah Al-A’lami, cet. 6.
[34] Biharul Anwar 76 : 274. Riwayat tersebut dinukil dari kitab Al-Mahasin.
[35] Fi Rihab Aimmah Ahlil Bayt as, Sayid Muhsin Al-Amin 2 : 202, Darut Ta’aruf.
[36] Ibid 4 : 84, Dar Sha’b
[37] Ushulul Kafi 2 : 173-174/13, bab Haqqul Mu`min ‘ala Akhihi wa Ada`i Haqqihi.
[38] Tanbihul Khawathir, Amir Warram 2 : 266, Dar Sha’b.
[39] Majmu’ah Warram 2 : 185, Dar Sha’b.
[40] Ushulul Kafi 2 : 173/10, kitab al-Iman wal Kufr.
[41] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 203/Khotbah 146.
[42] Mungkin yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah tradisi bangsa Persia dan Romawi ketika menghormati raja-raja mereka. (Pen.)
[43] Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 26.
[44] Ibid.
[45] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 475/Hikmah 37.
[46] Ibid. : 538/Hikmah 359.
[47] Ar-Ra’d 13 : 11.
[48] Iqtishaduna, Sayyid Muhammad Baqir Shadr : 324, cet. 11, Darut Ta’aruf lil Mathbu’aat.

BAB III
PEMBINAAN JIWA

Setiap akidah mempunyai pengaruh dalam jiwa orang yang berakidah yang mendorongnya untuk bertindak dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya. Keyakinan terhadap Allah mempunyai efek yang dalam di jiwa muslimin yang mempunyai hasil secara riil dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Hal itu bisa dijelaskan secara global melalui poin-poin berikut:

a. Ketenangan Jiwa
Manusia beragama akan memperoleh ketenangan dalam akidahnya meskipun berbagai badai peristiwa bergolak di sekitarnya. Akidah akan menjaganya dari kecemasan dan ketegangan, dan menciptakan suasana kejiwaan yang penuh dengan ketenangan dan harapan walaupun ia hidup dalam lingkungan yang tidak tenang dan berbahaya.
Sejarah Islam menjelaskan kepada kita berbagai contoh yang tidak terhitung jumlahnya tentang hal itu. Muslimin dahulu hidup dalam kondisi yang sangat sulit, di mana peperangan yang dipicu oleh kaum Quraisy dan sekutunya, embargo ekonomi, keterasingan sosial serta tekanan moral yang berkelanjutan. Namum karena mereka memiliki spiritual yang tinggi, hal itu mampu mendorong mereka untuk berjuang menghadapi itu semua dengan jiwa yang tenang guna memperoleh pahala dari Allah dan rahmat-Nya.
Dari Anas bahwasanya Rasulullah saww di hari Badr bersabda: “Bangkitlah kalian untuk memperoleh surga yang lebarnya langit dan bumi”. “Wahai Rasulullah, surga lebarnya langit dan bumi?”, tanya ‘Umair bin Hamam Al-Anshari keheran-heranan. “Ya”, jawab beliau pendek. ‘Umair bekata lagi: “Alangkah bagusnya, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya harus menjadi penghuni surga itu”. Rasulullah saww bersabda: “Engaku termasuk penghuni surga itu”. Kemudian Umair mengeluarkan beberapa kurma dari wadahnya dan memakannya seraya berkata: “Jika aku diam di sini untuk menghabiskan semua kurma ini, sungguh aku akan terlambat memperoleh kehidupan yang panjang dan abadi (surga) itu”. Lalu ia melemparkan kurma tersebut dan berperang hingga syahid.[136]
Lingkungan yang didiami mujahid ini adalah lingkungan berbahaya. Ia hidup dalam situasi perang Badr. Namun jiwanya bahagia, karena ia mengharapkan surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Maka, seorang muslim dengan keyakinannya kepada Allah, akan merasa rela dan tentram terhadap apa yang terjadi di sekitarnya dan menempatkan dirinya sesuai dengan ketentuan dan takdir Allah. Segala musibah yang menimpanya sekarang akan berubah menjadi kenikmatan dan berkah. Dan Alquran selalu menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa setiap mukmin. Allah SWT berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
(Dan boleh jadi kamu kurang menyukai sesuatu sedang ia berguna kepadamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu sedang ia merusakmu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui).[137]
Hadis-hadis Ahlul Bayt a.s. juga berusaha untuk menanamkan semangat tersebut di dalam jiwa mukminin.
Amirul Mukminin a.s. mengirim surat kepada Ibnu Abbas. Ia berkata mengenai surat itu: “Ucapan yang bermanfaat bagiku setelah sabda Rasulullah saww adalah ucapan ini”. Beliau menulis: “Amma ba’d. Seseorang terkadang merasa gembira ketika ia meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan berpisah darinya dan terkadang ia merasa sedih karena ia tidak dapat meraih sesuatu dan setelah itu ia tidak akan dapat meraihnya lagi.
Maka, berbahagialah ketika kamu dapat memperoleh sesuatu yang dapat kamu manfaatkan untuk akhiratmu dan bersedihlah ketika kamu tidak dapat meraihnya untuk akhiratmu”.[138]
Benar, bahwa manusia biasa selalu diliputi oleh rasa putus asa ketika tertimpa musibah. Sebagaimana Alquran dengan nyata menjelaskan hal itu dengan firman-Nya: “Dan jika ia ditimpa malapetaka, ia menjadi putus asa lagi putus harapan”.[139]
Dan firman-Nya yang lain: “Dan jika Kami menganugerahkan suatu rahmat kepada manusia lalu rahmat itu Kami cabut darinya, niscaya ia menjadi putus asa lagi tak berterima kasih”.[140]
Namun seorang mukmin yang dipersenjatai dengan akidah, ia akan tenang dalam menghadapi segala kesulitan, sabar ketika terkena malapetaka dan keraguan tidak akan merasuki jiwanya.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya tidak berputus dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir”.[141]
Imam Ali a.s. menyifati para wali Allah dengan perkataannya:
وَإِنْ صُبَّتْ عَلَيْهِمُ الْمَصَائِبُ لَجَأُوْا اِلَى اْلإِسْتِجَارَةِ بِكَ، عِلْمًا بِأَنَّ أَزِمَّةَ اْلأُمُوْرِ بِيَدِكَ وَمَصَادِرَهَا عَنْ قَضَائِكَ
(Apabila mereka ditimpa musibah, niscaya mereka akan meminta pertolongan kepada-Mu, karena mereka tahu bahwa kendali semua urusan berada di tangan-Mu dan bersumber dari Qadla`-Mu).[142]
Dengan memperhatikan hal di atas, disaat Amirul Mukminin a.s. dalam wasiat tersebut menekankan untuk tidak putus asa dari rahmat Allah, beliau dalam doktrin-doktrin pendidikannya juga menegaskan untuk tidak berharap kepada orang lain. Hal ini ditujukan supaya manusia hanya bersandar kepada Tuhannya dan tidak menjadi beban orang lain.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas beliau berkata:
اَلْغِنَى اْلأَكْبَرُ الْيَأْسُ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
(Kekayaan yang terbesar adalah tidak mengharapkan sesuatu yang berada di tangan manusia).[143]


Metode Akidah dalam Menghadapi Malapetaka
Melalui konteks ini, akidah ingin meringankan tekanan dan krisis kejiwaan yang dialami oleh mereka yang berakidah. Maka dengan metode-metode di bawah ini diharapkan malapetaka-malapetaka yang menimpa manusia tidak memiliki pengaruh yang serius:

1. Menjelaskan kriteria kehidupan dunia yang ditempati oleh manusia ini.
Mengetahui kriteria kehidupan dunia akan mempengaruhinya dalam perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, akidah berkepentingan untuk menjelaskan kriteria dunia dan mengajaknya untuk ber-zuhud terhadapnya.
Imam Ali a.s. berkata:
أَيُّهَا النَّاسُ، انْظُرُوْا اِلَى الدُّنْيَا نَظَرَ الزَّاهِدِيْنَ فِيْهَا الصَّادِفِيْنَ عَنْهَا، فَإِنَّهَا عَمَّا قَلِيْلٍ تُزِيْلُ الثَّاوِيَ السَّاكِنَ وَتُفْجِعُ الْمُتْرِفَ اْلآمِنَ، سُرُوْرُهَا مَشُوْبٌ بِالْحَزَنِ ...
(Wahai manusia, lihatlah dunia ini sebagaimana orang-orang zahid yang berpaling dari dunia melihatnya. Karena dunia ini sebentar lagi akan membinasakan orang-orang yang tinggal di dalamnya dengan tenang dan menyedihkan orang-orang yang hidup mewah dan penuh kedamaian. Kebahagian dunia selalu dihantui oleh kesedihan ...).[144]
Beliau juga berkata: “Saya peringatkan kepadamu akan dunia, karena dunia itu adalah tempat berlalu dan kesengsaraan. Penghuninya akan pergi meninggalkannya. Dunia dan penghuninya akan selalu bergoncang (tidak tenang) laksana perahu ...”.[145]
Maka, sangat wajar jika akidah mewanti-wanti para pengikutnya untuk tidak terjerat oleh jebakan-jebakan dunia yang fana. Karena hal itu akan menimbulkan efek-efek negatif yang terefeksi dalam jiwa mereka.
‘Alqamah meriwayatkan dari Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saww tidur di atas tikar yang terbuat dari pelepah kurma. Ketika beliau bangun, tikar tersebut berbekas di punggungnya. Kami berkata: `Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami buatkan untuk anda kasur yang empuk?` Beliau menjawab: `Apakah gerangan kebutuhanku dengan dunia? Aku di dunia ini bak seorang pengembara yang berlindung di bawah pohon untuk beristirahat sejenak, dan kemudian ia akan pergi meninggalkannya`”.[146]
Imam Ali a.s. berkata: “Aku peringatkan kalian akan dunia, karena dunia adalah tempat tinggal pinjaman dan bukan tempat berpesta foya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Dunia telah dihiasi dengan segala corak tipu daya dan akan memperdayai (manusia) dengan hiasannya. Dunia akan menghinakan pemiliknya. Telah bercampur aduk halalnya dunia dengan haramnya, kebaikannya dengan keburukannya, kehidupannya dengan kematiannya dan kemanisannya dengan kepahitannya. Allah tidak memilih dunia untuk dianugerahkan kepada para wali-Nya dan Ia tidak segan-segan untuk memberikannya kepada musuh-musuh-Nya. Harta dunia akan sirna, kesengsaraannya besar, mengumpulkannya tidak akan berguna, kerajaannya akan terampas dan orang yang memakmurkannya akan binasa. Maka, apa manfaat sebuah rumah yang akan hancur laksana hancurnya bangunan, umur akan musnah di dalamnya bagaikan musnahnya sebungkus bekal dan masa akan sirna bak sirnanya sebuah perjalanan ...”.[147]
Syaikh Ad-Dailami berkata: “Tidak ada sorangpun yang mampu menyingkap kriteria dunia seperti Imam Ali a.s. Beliau berkata: `Dunia adalah rumah yang diselimuti oleh bencana dan terkenal dengan tipu dayanya. Kondisinya tidak tetap dan penghuninya tidak selamat. Kondisi dunia berbeda-beda dan datang silih berganti. Kehidupan di dunia ini tercela dan ketentraman di dalamnya akan sirna. Penduduk dunia ini laksana papan tembak. Dunia akan melempari mereka dengan busur panah dan membinasakan mereka dengan jeritan kematiannya ...`”.[148]
Dan sangat wajar pula jika pemahaman yang dalam akan dunia itu akan mewujudkan sebuah kewaspadaan penuh terhadapnya. Sebagai bukti atas kebenaran klaim di atas adalah realita berikut ini. Muawiyah pernah bertanya kepada Dlirar bin Dlamirah Asy-Syaibani tentang Amirul Mukminin, Ali a.s. Dia berkata: “Aku bersaksi bahwa aku pernah melihat beliau di suatu malam yang gelap gulita berdiri di dalam mihrab dengan menggenggam jenggot beliau. Beliau mengeliat-geliat bagaikan orang yang sakit parah dan menangis laksana tangisan orang yang sangat sedih. Beliau berkata: `Wahai dunia, Wahai dunia, berpalinglah dariku! Apakah engkau merayuku atau merindukanku? Kesempatanmu untuk merayuku tidak akan pernah tiba. Tidak mungkin hal itu. Rayulah selainku. Aku tidak akan butuh kepadamu. Aku telah menceraikanmu tiga kali yang tidak ada kata kembali setelah itu. Kehidupanmu sangat pendek, nilaimu sangat sedikit dan angan-anganmu sangat hina. Oh, betapa sedikitnya bekal (yang aku punya), betapa panjangnya jalan (yang harus aku tempuh), dan betapa jauh dan berbahayanya perjalanan ini`”.[149]
Dan di antara bukti-bukti lain atas hal itu, kita dapati akidah menyingkap kriteria dunia dan akibat orang-orang yang tertipu olehnya atau terjerumus ke dalam lumpur keindahannya, dan menjelaskan dangkalnya pandangan orang yang mencari kesenangan sempurna di dunia ini.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata kepada para sahabat: “Janganlah kalian bercita-cita untuk menggapai sesuatu yang mustahil”. Mereka bertanya: “Siapakah yang menginginkan hal itu ?” Beliau menjawab: “Bukankah kalian menginginkan kesenangan dunia?” “Ya”, jawab mereka pendek. Beliau bersabda : “Kesenangan di dunia bagi seorang mukmin adalah mustahil”.[150]

2. Menjelaskan bahwa semua malapetaka memiliki pahala.
Hal ini akan memperingan beban seseorang yang terkena musibah sehingga ia akan menghadapinya dengan hati yang teguh dan jiwa yang tenang untuk memperoleh pahala dan rahmat Allah. Oleh karena itu, musibah tersebut tidak akan meninggalkan pengaruh yang berarti dalam jiwanya melebihi bekas yang ditinggalkan gelembung air di atas permukaan air.
Rasulullah saww bersabda:
اَلْمَصَائِبُ مَفَاتِيْحُ اْلأَجْرِ
(Musibah adalah kunci pahala).[151]
Seseorang menulis surat kepada Abi Ja’far a.s. mengadu kematian putranya. Beliau menjawab surat itu: “Apakah kau tidak tahu bahwa Allah akan mencabut harta seorang mukmin, anak dan jiwanya untuk memberikan pahala kepadanya karena itu?”[152]

3. Memfokuskan perhatian muslimin terhadap musibah yang terbesar, yaitu musibah yang menimpa agamanya.
Hal ini akan memperkecil efek musibah dunia dalam jiwanya. Ini adalah salah satu metode akidah untuk meringankan tekanan kejiwaan seseorang ketika menghadapi musibah duniawi. Metode ini menempati posisi yang utama dalam metode-metode pendidikan Ahlul Bayt a.s.
Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq a.s. melihat seseorang bersedih hati karena kematian anaknya. Beliau berkata kepadanya: “Wahai saudaraku, engkau bersedih hati karena musibah kecil (yang menimpamu) dan engkau lalai akan musibah besar? Seandainya engkau telah siap untuk menerima kematian anakmu sejak dulu, niscaya engkau tidak bersedih hati separah ini. Sebenarnya kesedihan yang disebabkan oleh keteledoranmu untuk mempersiapkan diri menghadapi sebuah musibah adalah lebih parah dari kesedihanmu dikarenakan oleh kematian anakmu ini”.[153]
Abu Abdillah a.s. ketika tertimpa musibah berkata:
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مُصِيْبَتِي فِي دِيْنِي، وَالْحَمْدُ للهِ الَّذِي لَوْ شَاءَ أَنْ يَجْعَلَ مُصِيْبَتِي أَعْظَمَ مِمَّا كَانَتْ، وَالْحَمْدُ للهِ عَلَى اْلأَمْرِ الَّذِي شَاءَ أَنْ يَكُوْنَ فَكَانَ
(Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan musibahku menimpa agamaku. Segala puji bagi Allah yang apabila berkehendak, Ia akan menjadikan musibahku lebih besar dari yang sudah ada. Dan segala puji bagi Allah atas segala sesuatu yang jika Ia menghendaki pasti akan terjadi.[154]
Ringkasnya, akidah dapat membentuk jiwa-jiwa yang kuat dan tenang dalam menghadapi badai peristiwa dengan hati yang teguh menerima ketentuan Allah dan qadar-Nya. Di samping itu, akidah juga menentukan garis perjalanan kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, manusia yang tidak berakidah bagaikan perahu tanpa kompas yang akibatnya ia akan menabrak batu-batu karang.


b. Membebaskan Jiwa dari Rasa Takut
Tidak syak lagi bahwa ketakutan selalu merintangi segala aktivitas seseorang dan melumpuhkan daya berpikir dan jasmaninya. Dahulu kala, manusia Jahiliyah selalu takut kepada saudara sesamanya dan segala tipu dayanya. Takut terhadap lingkungan yang mengitarinya dan bencananya. Takut terhadap kematian yang tiada jalan untuk menolaknya. Takut akan kefakiran dan kelaparan, penyakit dan segala penderitaan. Akidah mampu memperingan perasaan takut yang melumpuhkan daya manusia untuk bergerak dan berproduksi, dan menjadikannya selalu sedih dan cemas itu.

Kematian adalah Hadiah Berharga
Alquran selalu mengingatkan manusia akan satu realita yang pasti akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa (maut). Hal ini ditujukan supaya ia selalu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Allah SWT berfirman: “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian”.[155]
Kematian adalah satu realita yang di suatu hari akan menjemput setiap insan yang hidup, sebagaimana hal ini telah terjadi pada orang-orang sebelumnya. Kematian adalah satu kenyataan yang tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menolaknya. Allah berfirman:
أَيْنَمَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَ لَوْ كُنْـتُمْ فِي بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ
(Di manapun kamu berada, kematian akan menjemputmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh).[156]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman:
قُلْ لَنْ يَنْفَعَكُمُ الْفِرَارُ إِنْ فَرَرْتـُم مِنَ الْمَوْتِ ...
(Katakanlah, lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian ...).[157]
Dengan demikian Alquran menegaskan bahwa kematian adalah satu kenyataan yang pasti, dan akan datang dengan izin Allah SWT semata.
Keyakinan semacam ini dapat mendidik manusia bahwa kekuatan bumi atau langit - bagaimanapun dahsyatnya - tidak akan mampu untuk mencabut kehidupan dari dirinya. Allah berfirman:
وَمَاكَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتَابًا مُؤَجَّلاً
(Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya).[158]
Alquran telah menjelaskan kepalsuan anggapan umat Yahudi yang mengaku sebagai para wali Allah SWT, akan tetapi mereka tamak untuk hidup. Karena seorang mukmin yanng sejati - menurut perspektif Alquran -, tidak akan takut kepada kematian ketika ia menjemputnya. Kematian adalah perpindahan dari dunia yang fana menuju dunia yang abadi. Sedangkan mereka dengan latar belakang pemikiran materialis yang mereka miliki, takut untuk mati dan selalu ingin hidup. Oleh karena itu, Alquran menghujat mereka dengan firmannya:
قُلْ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ هَادُوْا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ اللهِ مِنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ | وَلاَ يَتَمَنَّوْنَهَ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيْهِمْ وِاللهُ عَلِيْمٌ بِالظَّالِمِيْنَ
(Katakanlah, hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mengaku bahwa kamu semata kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian, jika kamu adalah orang-orang yang benar. Mereka tidak akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan oleh kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. Dan Allah maha mengetahui orang-orang yang zalim).[159]
Imam Ali a.s. berkata: “Tidak akan selamat dari kematian orang yang takut kepadanya dan tidak akan diabadikan dalam hidup orang yang mencintai keabadian”.[160]
Yang patut diperhatikan, akidah di samping memberanikan manusia untuk menyambut kematian, ia juga menganggap kematian adalah hadiah berharga bagi insan beriman. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah saww bersabda:
تُحْفَةُ الْمُؤْمِنِ الْمَوْتُ
(Hadiah berharga seorang mukmin adalah kematian).
Rasul saww mengatakan hal itu, karena dunia adalah penjara mukminin yang selalu menjerat mereka dengan beraneka ragam kesulitan, serangan syahwat dan godaan setan. Kematianlah satu-satunya jalan yang dapat membebaskan mereka dari siksaan itu. Dan kebebasan dari siksaan ini adalah hadiah berharga bagi mereka guna mencapai kenikmatan yang abadi.[161]
Di hari ‘Asyura` Abu Abdillah Al-Husain as berkata kepada para sahabat:
صَبْرًا يَاكِرَامُ، فَمَا الْمَوْتُ إِلاَّ قَنْطَرَةً تَعْبُرُ بِكُمْ عَنِ الْبُؤْسِ وَالضَّرَّاءِ اِلَى الْجِنَانِ الْوَاسِعَةِ وَالنَّعِيْمِ الدَّائِمِ. فَأَيُّكُمْ يَكْرَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ مِنْ سِجْنٍ اِلَى قَصْرٍ؟
(Sabarlah wahai para insan mulia! Kematian adalah jembatan yang akan menyeberangkanmu dari kesengsaraan dan kesulitan menuju surga-surga yang luas dan kenikmatan yang abadi. Siapakah yang tidak senang berpindah dari penjara menuju istana?).[162]
Di samping itu, mazhab Ahlul Bayt a.s. juga mengajak para penngikut mereka untuk mengetahui hakikat kematian. Karena jika kita tahu akan hakikat sesuatu, kita tidak akan takut menghadapinya.
Amirul Mukminin a.s. berkata: “Jika engkau takut akan sesuatu, usahakanlah untuk menelusuri hakikatnya. Karena rasa takutmu kepadanya (jika kamu tidak berusaha untuk mengetahui hakikatnya), adalah lebih mengusik ketenanganmu dari sesuatu yang engkau takuti itu sendiri”.[163]
Diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Muhammad Al- Hadi a.s. menjenguk salah seorang sahabat beliau yang sedang sakit. Ketika beliau melihatnya menangis karena takut mati, beliau berkata kepadanya: “Wahai hamba Allah, engkau takut mati karena engkau tidak mengenalnya. Jika badanmu kotor dan mengganggumu, engkau terjangkit penyakit bisul dan kudis, dan engkau tahu bahwa dengan mencucinya di kamar mandi semua itu akan hilang, apakah engkau tidak akan masuk ke dalam kamar mandi itu untuk membersihkannya dari badanmu atau engkau justru tidak ingin masuk ke dalamnya sehingga kotoran dan penyakit itu tetap melengket di badanmu?” “Aku ingin masuk ke dalam kamar mandi itu untuk membersihkannya, wahai putra Rasulullah”, jawabnya tegas. Beliau berkata: “Kematian adalah ibarat kamar mandi. Kematian adalah tangga terakhir untuk membersihkan dosa-dosa dan segala kejelekanmu. Jika engkau telah memasukinya dan lewat darinya, engkau telah selamat dari segala kesedihan, kesusahan dan kesengsaraan, dan engkau telah sampai kepada kebahagiaan dan kesenangan”.
Setelah mendengar perkataan Imam tersebut, lelaki itu tenang dan pasrah, lalu menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan kedua matanya kemudian meninggal dunia.[164]
Seorang sahabat berkata kepada Imam Shadiq as: “Terangkanlah hakekat kematian kepada kami!” Beliau berkata:
للمؤمن كأطيب ريح يشمه، فينعس لطيبه وينقطع التعب والألم كله عنه. وللكافر كلسع الأفاعي ولدغ العقارب أو أشد ...
(Kematian bagi seorang mukmin laksana wewangian yang ia cium, kemudian ia tertidur pulas karena harumnya sehingga hilang darinya semua rasa capai dan letih. Namum kematian bagi orang kafir laksana sengatan ular naga dan gigitan kalajengking atau lebih sakit dari itu ...).[165]
Demikianlah akidah menentramkan seorang mukmin dari bayang-bayang kematian yang selalu menghantuinya, sehingga maut baginya menjadi sebuah hadiah berharga dan ketenangan.
Rasulullah saww bersabda:
شَيْئَانِ يَكْرَهُهُمَا بَنُوْ آدَمَ: يَكْرَهُ الْمَوْتَ فَالْمَوْتُ رَاحَةٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ الْفِتْنَةِ، وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقَلُّ لِلْحِسَابِ
(Dua hal yang dibenci oleh Bani Adam: mereka membenci kematian, padahal kematian adalah penyelamat mukmin dari fitnah, dan mereka membenci harta yang sedikit, padahal harta yang sedikit lebih sedikit hisabnya (di hari kiamat)).[166]
Para imam ma’shum a.s. menganjurkan kita untuk sering mengingat kematian, karena hal itu mempunyai pengaruh-pengaruh yang besar dalam mendidik jiwa. Kematian akan mematikan hawa nafsu dan memperingan segala musibah dunia yang menimpa kita. Rasulullah saww bersabda: “Perbanyaklah mengingat kematian, karena hal itu akan membersihkan dosa-dosa dan menjadikan manusia zuhud di dunia ini”.[167]
Imam Ali a.s. berkata: “Perbanyaklah mengingat kematian, hari kamu keluar dari dalam kubur dan hari kamu berdiri di hadapan Tuhanmu. Niscaya segala musibah akan ringan bagimu”.[168]
Dan diantara wasiat-wasiat Amirul Mukminin a.s. kepada putra beliau, Imam Hasan a.s.: “Wahai puteraku, perbanyaklah mengingat kematian dan tempat kembalimu kelak setelah engkau mati. Sehingga ketika kematian telah menjemputmu, engkau telah mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya, dan jangan sampai kematian mendatangimu secara tiba-tiba (sedangkan engkau belum mempersiapkan segalanya) yang akibatnya engkau akan terperana oleh kedatangannya”.[169] Dalam kesempatan yang lain beliau juga pernah berkata: “Barangsiapa yang selalu mengingat kematian, ia akan puas dengan dunia sedikit yang dimilikinya”.[170]
Kesimpulannya, akidah dapat membebaskan jiwa manusia dari takut mati melalui penegasannya bahwa kematian adalah realita yang harus diterima. Dan menerima realita tersebut harus didasari oleh pengetahuan tentang hakikat kematian itu. Kematian adalah langkah awal kebahagiaan seseorang. Begitu juga perlu diingat bahwa mengingat kematian memiliki dampak-dampak positif terhadap jiwa manusia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini.

Jaminan Rizki bagi yang Mencarinya
Ada satu ketakutan yang sering menghantui manusia dan mengeruhkan ketenangan hidupnya. Yaitu takut miskin. Namun, akidah mampu mencegah merasuknya rasa takut ini ke dalam hati mukmin dengan menegaskan bahwa rizki berada di tangan Allah SWT dan Ia telah menjamin rizki para hamba-Nya sesuai dengan kadar yang telah ditentukan. Atas dasar ini, tidak ada alasan bagi mereka untuk mengkuatirkan rizki itu.
Barang siapa yang membaca Alquran, ia akan menemukan beberapa ayat yang menganjurkan kita untuk membasmikan faktor-faktor yang dapat mengundang rasa takut miskin, hal yang telah memaksa masyarakat Jahiliyah untuk membunuh anak-anak mereka hidup-hidup.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Dialah Maha pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”.[171] Dan dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu”.[172]
Rasulullah saww dan keluarga beliau a.s. juga menegaskan tentang hal itu.
Rasulullah saww bersabda:
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ مُفَتَّحَةٌ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ، وَالرَّحْمَةُ نَازِلَةٌ عَلَى الرُّحَمَاءِ، وَاللهُ رَاضٍ عَنِ اْلأَسْخِيَاءِ
(Pintu-pintu surga terbuka bagi orang-orang fakir dan miskin, hujan rahmat akan turun atas orang-orang yang penuh kasih sayang, dan Allah rela atas orang-orang yang dermawan).[173]
Imam Ali a.s. berkata:
... عِيَالُهُ الْخَلاَئِقُ، ضَمِنَ أَرْزَاقَهُمْ وَقَدَّرَ أَقْوَاتَهُمْ
(...Keluarga-Nya adalah para makhluk-Nya, Ia yang menjamin rizki mereka dan menentukan makanan mereka sehari-hari).[174]
Dari sisi lain, mereka a.s. juga meluruskan dan membenarkan pemahaman manusia tentang rizki. Benar bahwa Allah menjamin rizki para hamba-Nya. Namun hal itu bukan berarti bahwa Allah mendorong mereka untuk bermalas-malasan, duduk berpangku tangan dan enggan bekerja. Akan tetapi, Ia akan memberi rizki kepada manusia dengan syarat usaha dan bekerja. Amirul Mukminin a.s. berkata:
اُطْلُبُوا الرِّزْقَ فَإِنَّهُ مَضْمُوْنٌ لِطَالِبِهِ
(Carilah rizki, karena rizki itu akan dijamin bagi orang yang mencarinya).[175]
Beliau a.s. sering membajak tanah dan bercocok tanam, dan membebaskan seribu budak dengan uang tebusan yang beliau hasilkan dari jerih payah beliau sendiri.[176] Dan beliau juga sering menyirami kebun kurma milik masyarakat Yahudi hingga tangan beliau lelah, lalu beliau bersedekah dengan upah yang beliau hasilkan dari bekerja itu dan sebagai gantinya, beliau mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar.[177]
Dengan kerja keras ini beliau tidak ada keinginan untuk mengumpulkan harta. Imam Ali a.s. tidak tertipu oleh gemilaunya harta. Akan tetapi, beliau mencari rizki yang halal dari pekerjaan yang halal dan menginfaqkannya pada tempatnya.
Sayid Mahdi Shadr menulis: “Ketika orang lain telah terpedaya oleh harta, gemar mengumpulkan dan menyimpannya, maka selayaknya bagi seorang mukmin yang sadar dan berakal untuk tidak tertipu oleh gemerlapnya harta dan tidak terperdaya oleh keelokannya. Hendaknya ia mengambil pelajaran dari keterhalangan orang-orang yang tertipu oleh harta benda dan rakus terhadapnya untuk memperoleh pahala akhirat, dan keterlaluan mereka mengumpulkan harta lebih di dunia ini. Mereka tidak lebih dari sekedar penyimpan harta yang jujur (untuk orang lain). Mereka telah membanting tulang dan bekerja keras untuk menyimpan harta, tapi akhirnya mereka akan meninggalkannya begitu saja sebagai makanan yang siap dilahap oleh para ahli waris mereka. Akhirnya mereka (akan pergi dari dunia ini) dengan menanggung dosa, sedangkan putra-putra mereka akan berfoya-foya dengan harta itu”.[178]
Ringkasnya, akidah akan mencabut rasa takut miskin dari setiap jiwa mukmin dan mendorongnya berusaha terus dengan penuh kemantapan untuk menjamin tuntutan-tuntutan hidupnya.

Penyakit dapat Menghapus Dosa dan Mendatangkan Pahala
Akidah dapat mengurangi ketakutan manusia terhadap penyakit dengan menegaskan bahwa setiap badan pasti akan mengalami sakit.
Imam Ali a.s. berkata:
لاَيَنْبَغِي لِلْعَبْدِ أَنْ يَثِقَ بِخَصْلَتَيْنِ: الْعَافِيَةُ وِالْغِنَى، بَيْنَمَا تَرَاهُ مُعَافًى إِذْ سَقُمَ وَبَيْنَمَا تَرَاهُ غَنِيًّا إِذِ افْتَقَرَ
(Tidak sepatutnya bagi seorang hamba terlalu percaya kepada dua hal: kesehatan dan kekayaan. (Karena) di saat engkau melihatnya sehat, mungkin tiba-tiba ia sakit dan di saat engkau melihatnya kaya, mungkin tiba-tiba ia fakir).[179]
Akidah juga menegaskan bahwa penyakit dapat menghilangkan dosa. Imam Sajjad a.s. berkata:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا حُمَّ حُمًى وَاحِدَةً، تَنَاثَرَتِ الذُّنُوْبُ مِنْهُ كَوَرَقِ الشَّجَرِ
(Seorang mukmin ketika terserang penyakit panas satu kali, dosa-dosanya akan rontok darinya laksana rontoknya dedaunan yang kering).[180]
Abu Abdillah a.s. berkata:
صُدَاعُ لَيْلَةٍ يَحُطُّ كُلَّ خَطِيْئَةٍ إِلاَّ الْكَبَائِرَ
(Sakit kepala satu malam akan membasmi setiap dosa, kecuali dosa besar).[181]
Di samping segala keistimewaan penyakit yang telah disebutkan dalam hadis-hadis di atas, penyakit juga mendatangkan pahal yang besar bagi yang menderitanya. Hal ini dapat membantunya untuk menghadapi penyakit tersebut dengan tulus hati.
Berkenaan dengan hal di atas Rasulullah saww bersabda:
عَجِبْتُ مِنَ الْمُؤْمِنِ وَجَزَعَهُ مِنَ السُّقْمِ، وَلَوْعَلِمَ مَا لَهُ مِنَ السُّقْمِ مِنَ الثَّوَابِ، لأَحَبَّ أَنْ لاَيَزَالَ سَقِيْمًا حَتَّى يَلْقَى رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
(Aku heran terhadap seorang mukmin yang mengaduh karena sakit. Seandainya ia tahu tentang pahala yang tersimpan dalam sebuah penyakit, niscaya ia mengharapkan untuk selalu sakit hingga ia berjumpa dengan Tuhannya).[182]
Imam Ridha a.s. berkata:
اَلْمَرَضُ لِلْمُؤْمِنِ تَطْهِيْرٌ وِرَحْمَةٌ وِلِلْكَافِرِ تَعْذِيْبٌ وَلَعْنَةٌ، وَإِنَّ الْمَرَضَ لاَيَزَالُ بِالْمُؤْمِنِ حَتَّى لاَيَكُوْنَ عَلَيْهِ ذَنْبٌ
(Penyakit bagi orang mu’min adalah penyucian dan rahmat, sedangkan bagi orang kafir adalah siksaan dan laknat. Seorang mukmin akan selalu ditimpa penyakit sehingga dosa-dosanya sirna).[183]
Kesimpulannya, Allah tidak menciptakan penyakit dengan sia-sia. Penyakit adalah satu sarana untuk menguji manusia demi mengetahui kesabarannya terhadap segala bencana. Oleh karena itu, Allah menguji para nabi-Nya dan hamba-hamba-Nya yang shalih dengan penyakit.
Nabi Ayyub a.s. - seperti yang telah kita ketahui bersama - mengalami penyakit di sekujur tubuhnya. Ibnul Atsir Ad-Dimasyqi menulis: “Tidak satupun anggota tubuhnya yang selamat kecuali hati dan lidahnya. Ia selalu berzikir kepada Allah dengan hati dan lidah itu. Meskipun demikian, ia sabar, tabah dan selalu mengingat Allah dalam setiap kesempatan; pagi, siang, sore dan malam. Penyakitnya berlangsung lama sehingga teman dan para sahabatnya menjauh darinya. Ia diusir dari negerinya, dan masyarakatnya tidak sudi lagi berhubungan dengannya. Tidak seorang pun yang berbelas kasihan kepadanya, kecuali istrinya yang tahu balas budi terhadap segala kebaikannya di masa lalu. Semua itu hanya memperbesar kesabaran, ketabahan dan puji syukurnya (kepada Allah). Kesabaran Ayyub as ini telah menjadi peribahasa di kalangan masyarakat dunia”.[184]
Dan hasil dari kesabaran dan ketabahannya itu, Allah mengembalikan semua kemuliaan dan kejayaan yang selama ini ia punyai kepadanya.
Akidah, di samping memerintahkan muslimin untuk bersabar menghadapi segala bentuk penyakit, ia juga menasehatinya untuk tidak mengeluh karena penyakit itu. Karena mengeluh itu berarti menuduh Allah atas segala qadla`-Nya. Begitu juga, mengaduh karena penyakit itu dapat merendahkan martabat manusia di mata manusia lain, dan ia akan dicela dan diejek karenanya.
Amirul Mukminin Ali a.s. berkata:
كَانَ لِي فِيْمَا مَضَى أَخٌ فِي اللهِ، وَكَانَ يُعَظِّمُهُ فِي عَيْنَيَّ صِغَرُ الدُّنْيَا فِي عَيْنِهِ، وَكَانَ لاَيَشْكُوْ وَجَعًا إِلاَّ عِنْدَ بُرْئِهِ
(Dahulu kala aku mempunyai saudara yang agung di mataku karena remehnya dunia di matanya. Ia tidak pernah mengeluh tentang penyakit yang dideritanya kecuali ketika ia sembuh).[185]
Perlu diingat, ketika akidah ingin membasmi rasa takut dari diri manusia, ia juga menanamkan rasa takut kepada Allah semata, memperingatkannya untuk tidak bermaksiat kepada-Nya dan mengingatkan kepadanya siksa-Nya yang pedih. Karena rasa takut kepada Allah itu adalah satu-satunya jalan untuk bebas dari segala rasa takut.
Alquran di sejumlah ayat menganjurkan manusia untuk selalu takut kepada Allah SWT. Allah berfirman: “Katakanlah, sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku”.[186]
Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.[187]
Rasulullah saww bersabda:
مَا سَلَّطَ اللهُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلاَّ مَنْ خَافَهُ ابْنُ آدَمَ، وَلَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ لَمْ يَخَفْ إِلاَّ اللهَ مَا سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِ غَيْرَهُ ...
(Allah tidak akan menguasakan atas Bani Adam kecuali orang yang mereka takuti. Seandainya Bani Adam tidak takut kecuali kepada-Nya, Ia tidak akan menguasakan orang lain atas mereka).[188]
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ خَوْفُ اللهِ عَنْ خَوْفِ النَّاسِ
(Beruntunglah orang yang lebih takut kepada Allah dari pada takut kepada manusia).[189]
Tentu saja takut kepada Allah ini memiliki efek pendidikan yang sangat penting bagi umat manusia. Berkenaan dengan hal ini Imam Shadiq a.s. berkata:
مَنْ عَرَفَ اللهَ خَافَ اللهَ، وَمَنْ خَافَ اللهَ سَخَتْ نَفْسُهُ عَنِ الدُّنْيَا
(Barang siapa yang mengenal Allah, maka ia akan takut kepada-Nya, dan barang siapa yang takut kepada Allah, ia akan enggan kepada dunia).[190]
Di samping itu, rasa takut kepada Allah itu juga mempunyai efek-efek sosial yang dapat mendorong setiap individu untuk membantu orang lain.
Allah SWT berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami”.[191]
Kesimpulannya, akidah telah mampu membentuk jiwa yang shalih dan membuka cakrawala luas baginya dengan jalan membebaskannya dari segala rasa takut. Begitu juga akidah telah mampu menghubungkannya dengan Penciptanya, mengingatkannya akan segala nikmat-Nya dan mengingatkannya akan siksa-Nya yang pedih.


c. Mengenal Diri (Ma’rifatun Nafs)
Di antara sumbangsih akidah adalah ia mendorong insan muslim untuk mengenal dirinya. Karena tidak mungkin baginya untuk mengangkat dirinya ke puncak piramida kesempurnaan kecuali dengan mengenal kriteria dirinya. Pengenalan ini adalah langkah pertama untuk menguasai jiwa dan mengekang hawa nafsunya.
Imam Al-Baqir a.s. berkataka: “Tiada pengetahuan yang lebih mulia dari pengenalanmu terhadap dirimu”.[192]
Ada hubungan yang kuat antara mengenal Allah dan mengenal diri. Melalui pengenalan terhadap diri, kriteria dan kemampuannya, manusia dapat mengenal Penciptanya dan mengagungkan kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Dan sebaliknya, melupakan Allah, menyebabkan manusia lupa terhadap dirinya.
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri”.[193]

Peranan Akidah dalam Mengenalkan Manusia akan Dirinya
Tidak diragukan lagi bahwa akidah - melalui sumber-sumber rujukan pengetahuannya - memiliki peranan besar dalam menyingkap kriteria diri (jiwa) manusia, dan merinci secara detail penyakit-penyakitnya dan efek-efek yang muncul dari penyakit-penyakit itu.
Alquran mengakui bahwa jiwa itu cenderung mengajak manusia kepada kejahatan.
Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat olehTuhanku”.[194]
Alquran juga mengakui bahwa jiwa manusia itu cenderung kikir.
Allah SWT berfirman: “Dan jiwa manusia itu adalah kikir”.[195]
Dan di ayat yang lain Ia berfirman: “Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka adalah orang-orang yang beruntung”.[196]
Terdapat beberapa hadis yang menyoroti kriteria jiwa dan mengutarakan metode pengobatan bagi penyakit-penyakitnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah surat Imam Ali a.s. kepada Malik Al-Asytar An-Nakhai ketika beliau menobatkannya sebagai gubernur di Mesir: “... Ia (Ali) memerintahkannya (Malik Al-Asytar) untuk mengekang dirinya dari hawa nafsu. Karena jiwa itu cenderung mengajak kepada kejelekan kecuali yang dirahmati oleh Allah ..”.[197]
Beliau juga pernah berkata dalam sebuah khotbahnya: “Kami memohon pertolongan-Nya atas jiwa yang sangat lambat untuk mengerjakan segala yang diperintahkan kepadanya ini dan cepat untuk mengerjakan segala yang dilarang ...”.[198]
Dalam kesempatan yang lain Beliau juga berkata: “Jiwa diciptakan untuk berperilaku jelek, sedang hamba diperintahkan untuk selalu berperangai mulia. Nafsu dengan wataknya selalu berjalan dalam penyimpangan dan seorang hamba selalu berusaha menolak tuntutan-tuntutan jeleknya. Maka ketika ia melepaskan tali kendali jiwanya, ia telah ikut serta dalam merusakkannya. Dan barang siapa yang membantu jiwanya dalam memenuhi tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah ikut serta dalam membinasakan dirinya ...”.[199]
Di sini perlu juga dijelaskan bahwa penyakit-penyakit yang menimpa jiwa manusia jika tidak diobati, hal itu dapat menimbulkan akibat-akibat jelek dan berbahaya. Sebagi bukti atas hal itu, fitnah besar yang pernah menimpa muslimin di Saqifah memiliki latar belakang penyakit jiwa. Amirul Mukminin a.s. ketika ditanya oleh sebagian sahabat beliau: “Bagaimana kaum anda menyingkirkan anda dari kedudukan itu (khilafah) sedangkan anda lebih pantas atas kedudukan itu?”, berkata: “Adapun kesewenang-wenangan mereka terhadap kami dengan merampas kedudukan ini sedangkan keturunan kami lebih mulia (dari keturunan mereka) dan kami lebih dekat dengan Rasulullah saww, hal itu pengaruh ketamakan dan keengganan mereka. Dan hakam adalah Allah”.[200]
Dari ucapan beliau itu dapat kita ketahui bahwa kerakusan dan ketamakan yang tersimpan dalam jiwa sebagian para sahabat adalah faktor utama penyimpangan terbesar yang pernah dialami oleh sejarah Islam sesaat setelah meninggalnya Rasulullah saww. Oleh karena itu, para imam Ahlul Bayt a.s. dengan kema’shuman mereka masih sering memohon perlindungan kepada Allah supaya menjaga mereka dari penyakit jiwa yang sangat berbahaya ini.
Al-Fadhl bin Abi Qurrah berkata: “Saya melihat Abu Abdillah a.s. berthawaf dari permulaan malam hingga pagi. Ketika Thawaf beliau selalu berdoa:
اَللَّهُمَّ قِـِني شُـحَّ نَفْـسِي
(Ya Allah, jagalah aku dari kekikiran dan ketamakan jiwaku). Aku bertanya: `Wahai junjunganku, aku tidak mendengar anda berdoa dengan selain doa ini?` Beliau berkata: `Penyakit jiwa apakah yang lebih berbahaya dari penyakit tamak dan kikir? Allah berfirman: `Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung`”.[201]


d. Menguasai Hawa Nafsu
Dalam mendidik jiwa manusia akidah tidak menganjurkan agar ia membinasakan segala bentuk keinginannya. Karena hal itu dapat mematikan vitalitas dan segala kemampuannya, yang akibatnya, jiwa itu akan kehilangan semangat kerja dan produktifitasnya. Dan akidah juga tidak menganjurkan agar ia membebaskan kendalinya sehingga ia dapat memenuhi segala keinginannya tanpa kontrol. Akan tetapi, akidah menganjurkan agar ia menggunakan metode mendidik nafsu yang benar (mengawasi dan mengontrol hawa nafsu secara kontinyu, as-saitharah ‘alan nafs).
Amirul mukminin a.s. berkata:
سِيَاسَةُ النَّفْسِ أَفْضَلُ سِيَاسَةٍ
(Mendidik nafsu dengan menggunakan politik yang bijaksana adalah politik yang paling utama).[202]
Mengawasi dan mengontrol hawa nafsu itu akan terwujud dengan mengarahkan segala kecenderungan dan keinginannya supaya terpenuhi secara seimbang, dan juga dengan cara instropeksi diri.
Imam Musa bin Ja’far a.s. berkata:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُحَاسِبْ نَفْسَهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ، فَإِنْ عَمِلَ حَسَنَةً اسْتَزَادَ اللهَ تَعَالَـى، وَإِنْ عَمِلَ سَيِّئَةً اسْتَغْفَرَ اللهَ تَعَالَـى مِنْهَا وَتَابَ إِلَيْهِ
(Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menginstropeksi dirinya setiap hari. (Dengan instropeksi itu), jika ia berbuat kebaikan, maka ia memohon kepada Allah agar selalu dapat menambah kebaikannya, dan apabila ia berbuat keburukan, maka ia memohon ampun dan kembali kepada-Nya).[203]
Perlu dicamkan, akidah tidak membenarkan semua cara untuk mengawasi dan mengontrol nafsu, sebagaimana yang dilakukan oleh salah seorang sahabat di ini. Thalhah berkata: “Di suatu hari yang panas menyengat seseorang melepas bajunya dan berguling-guling di atas tanah yang membakar sembari berkata kepada dirinya: `Rasakanlah, siksa jahannam lebih panas dari ini. Apakah engkau hanya bisa menjadi bangkai di malam hari dan penganggur di siang?` Di saat ia berbuat demikian, tiba-tiba Rasululah saww yang berlindung di bawah pohon yang rindang melihatnya lalu menghampirinya. `Aku telah dikuasai oleh nafsuku`, katanya bersemangat. Beliau berkata kepadanya: `Apakah tidak ada jalan lain selain yang engkau perbuat ini?`”.[204]
Dari peristiwa tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa akidah di samping mendorong manusia untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mengawasai dan mengontrol nafsunya, ia juga tidak membenarkan cara-cara yang tidak rasional demi merealisasikan hal itu. Kita memerlukan kesabaran, politik yang jitu dan latihan-latihan khusus untuk dapat melepaskan jiwa kita dari kebiasaan-kebiasaan jeleknya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Imam ali a.s. Beliau berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan melatih nafsuku sedemikian rupa sehingga ia dapat makan sepotong roti dan merasa cukup dengan garam sebagai lauknya”.[205]
Manusia akan heran melihat kemampuan Imam Ali a.s. dalam mengontrol nafsunya kendatipun di masa kekhilafahan beliau harta berlimpah datang kepada beliau dari segala penjuru negri Islam. Beliau membagi harta-harta tersebut secara benar tanpa manyisihkan bagian istimewa untuk dirinya.
Habbah Al-’Arani berkata: “Sebuah hidangan agar-agar segar dihidangkan di hadapan Amirul Mukminin a.s. Beliau memandang betapa segarnya agar-agar tersebut. Lalu beliau masukkan telunjuknya ke dalam agar-agar tersebut hingga menyentuh alasnya. Kemudian beliau mencabut telunjuknya dan tidak mengambil sedikitpun agar-agar tersebut. Setelah mencicipi agar-agar yang tersisa di telunjuk tersebut, beliau berkata: “Makanan yang halal adalah baik dan tidak haram. Namun aku tidak ingin membiasakan diriku dengan satu kebiasaan yang selama ini belum pernah aku lakukan. Angkatlah agar-agar ini dari depan mataku”. Setelah berkata begitu, para sahabat mengangkat agar-agar tersebut dari depan mata beliau.[206]
Beliau juga biasa menaruh tumbukan gandum di sebuah bejana dan menguncinya. Salah seorang sahabat pernah bertanya tentang hal itu. Belaiu menjewab: “Aku takut kedua anak ini akan mencampurkan minyak atau mentega dengannya”.[207]

Rasa Takut dan Berharap
Hal yang perlu dikonfirmasikan di sini adalah jiwa mempunyai dua kutub yang bertentangan, yaitu rasa takut dan berharap. Akidah dengan bersandar kepada dua kutub tersebut, berusaha untuk menyelamatkan manusia dari rasa takut dan berharap yang tidak dianjurkan oleh Islam. Sebagai gantinya, dari satu sisi akidah ingin menanamkan rasa takut kepada Allah di dalam sanubari manusia dan dari sisi lain ia menganjurkan agar ia hanya berharap kepada pahala-Nya.
Allah SWT berfirman:
... يَحْذَرُ اْلآخِرَةَ وَيَرْجُوْ رَحْمَةَ رَبِّهِ ...
(...Ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ...).[208]
Akidah tidak hanya menekankan sisi rasa takut yang hanya membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, atau sebaliknya, hanya memfokuskan sisi berharap yang hal ini akan melemahkan rasa takutnya kepada-Nya.
Rasullullah saww bersabda:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ قَدْرَ رَحْمَةِ اللهِ لاَتَّكَلْتُمْ عَلَيْهَا وَمَا عَمِلْتُمْ إِلاَّ قَلِيْلاً، وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ قَدْرَ غَضَبِ اللهِ لَظَنَنْتُمْ بِأَنْ لاَ تَنْجُوْا
(Seandainya kalian mengetahui betapa luasnya rahmat Allah, niscaya kalian akan mengharapkannya semata dan beramal sedikit, dan seandainya kalian mengetahui kadar kemurkaan Allah, niscaya kalian menyangka tidak akan selamat).[209]
Imam Ali a.s. berata:
إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ يَشْتَدَّ خَوْفُكُمْ مِنَ اللهِ وَأَنْ يَحْسُنَ ظَنُّكُمْ بِهِ، فَاجْمَعُوْا بَيْنَهُمَا، فَإْنَّ الْعَبْدَ إِنَّمَا يَكُوْنُ حُسْنُ ظَنِّهِ بِرَبِّهِ عَلَى قَدْرِ خَوْفِهِ مِنْ رَبِّهِ، وَإِنَّ أَحْسَنَ النَّاسِ ظَنًّا بِاللهِ أَشَدُّهُمْ خَوْفًا مِنْهُ
(Jika kalian mampu untuk takut kepada Allah dan berprasangka baik terhadap-Nya, maka lakukanlah keduanya. Sesungguhnya prasangka baik hamba terhadap Tuhannya sesuai dengan kadar rasa takutnya kepada-Nya. Dan sesungguhnya manusia yang paling berprasangka baik terhadap Allah adalah manusia yang paling takut kepada-Nya).[210]
Perlu diingat bahwa watak dan perilaku setiap manusia sangat berbeda dengan watak dan perilaku manusia yang lain. Alangkah bijaksananya ketika kita ingin memperbesar volume rasa takut atau berharap dalam sanubari setiap insan, kita memperhatikan perbedaan watak dan perilaku tersebut. Hal ini dikarenakan terdapat sebagian manusia yang dapat diperbaiki hanya dengan jalan memperbesar volume rasa berharap dalam sanubari mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah bergelimang dalam lumpur maksiat dan menyesali perbuatan itu. Mereka ingin bertaubat kepada Allah, hanya saja mereka putus asa dari ampunan-Nya karena banyaknya dosa dan kejelekan yang telah mereka perbuat. Dalam kondisi seperti ini, keputusasaan mereka itu hanya dapat terobati oleh harapan terhadap agungnya belas kasih Allah dan luasnya rahmat dan ampunan-Nya. Dan ada sebagian orang yang dapat diperbaiki hanya dengan jalan memperbesar volume rasa takut dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang durhaka yang tenggelam dalam lumpur maksiat. Hal ini karena mereka terlalu terperdaya oleh rasa berharap kepada ampunan Allah. Cara efektif untuk mengobati mereka adalah menanamkan rasa takut dan ancaman siksa yang sangat pedih dalam hati mereka.[211]
Para pengikut Ahlul Bayt a.s. adalah teladan dalam hal ini. Rasa takut kepada Allah telah terpatri kokoh dalam sanubari mereka dan terefleksi dalam anggota tubuh mereka. Dan di samping itu, rasa berharap kepada ampunan Allah juga tertanam di hati mereka. Sebagai contoh, diriwayatkan bahwa Abu Dzar r.a. menangis karena takut kepada Allah sehingga matanya bengkak dan sakit. Salah seorang sahabat berkata kepadanya: “Seandainya engkau berdoa kepada Allah, maka Ia akan menyembuhkan matamu”. Abu Dzar menjawab: “Aku disibukkan oleh hal lain sehingga aku tidak sempat untuk memohon kepada-Nya demi kesembuhan mataku. Dan kesembuhan mataku itu bukanlah cita-citaku yang terbesar”. “Apa yang menyibukanmu?”, tanya mereka kembali. “Dua urusan besar: surga dan neraka”, Jawab Abu Dzar.[212]
Dari sisi yang lain, para pemimpin mazhab ini juga menanamkan rasa berharap dalam jiwa setiap individu. Di antara wasiat-wasiat Amirul Mukminin a.s. kepada putera beliau, Imam Hasan a.s.:
أَيْ بُنَيَّ، لاَ تُؤَيِّسْ مُذْنِبًا، فَكَمْ مِنْ عَاكِفٍ عَلَى ذَنْبِهِ خُتِمَ لَهُ بِخَيْرٍ، وَكَمْ مِنْ مُقْبِلٍ عَلَى عَمَلٍ مُفْسِدٍ مِنْ آخِرِ عُمْرِهِ صَائِرٍ اِلَـى النَّارِ، نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْهَا
(Wahai anakku, janganlah engkau memutus harapan orang-orang yang berdosa. (Karena) betapa banyak orang yang telah bergelimang dalam lumpur dosa, namun akhir hayatnya ditutup dengan kebaikan, dan betapa banyak orang yang melakukan pekerjaan jelek di akhir umurnya (meskipun mereka berbuat kebajikan seumur hidupnya), mereka masuk neraka. Kami berlindung kepada Allah dari hal itu”.[213]
________________________________________
[136] As-Sirah An-Nabawiyyah, Abul Fida` 2 : 420, Darur Ra`id Al-’Arabi, cet. 3.
[137] Al-Baqarah 2 : 216.
[138] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 378/Kitab 22.
[139] Fushshilat 41 : 49.
[140] Hud 11 : 9.
[141] Yusuf 12 : 87.
[142] Nahjul Balaghah : 349.
[143] Ibid. : 534.
[144] Ibid. : 148/Khotbah 103.
[145] Ibid : 310.
[146] Sunan At-Turmudzi 4 : 508/2377, bab 44, Darul Fikr, cet. 1408 H.
[147] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 167/Khotbah 113.
[148] Irsyadul Qulub, Dailami 1: 30, Mansyurat Ar-Radli, Qom.
[149] Tanbihul Khawathir, Amir Warram 1 : 79, bab al-’itab.
[150] A’lamud Din, Ad-Dailami : 278.
[151] Biharul Anwar 82 : 122 diriwayatkan dari kitab Musakkinul Fu`ad.
[152] Ibid 82 : 123 diriwayatkan dari kitab Misykatul Anwar : 280.
[153] Raudhatul Wa’idhin, Al-Fital An-Naisaburi : 489, Mansyurat Ar-Radli, Qom.
[154] Al-Kafi, Al-Kulaini 3 : 262/42, Bab an-nawadir.
[155] Ali ‘Imran 3 : 185.
[156] An-Nisa` 4 : 78.
[157] Al-Ahzab 33 : 16.
[158] Ali ‘Imran 3 : 145.
[159] Al-Jumu’ah 62 : 6-7.
[160] Nahjul Balaghah, Shubhi Shalih : 81/Khotbah 38.
[161] Tanbihul Khawathir 1-2 : 268, bab Dzikril Maut.
[162] Ma’anil Akhbar, Shaduq : 288, Jama’ah Al-Mudarrisin, cet. 1379 H.
[163] Nahjul Balaghah, Qisharul Hikam : 175.
[164] Ma’anil Akhbar, Shaduq : 290.
[165] ‘Uyun Akhbarir Ridla, Ibnu Babawaih 2 : 248, Muassasah Al-A’lami, cet. 1.
[166] Raudhatul Wa’idhin : 486, Fi Dzikril Maut.
[167] Tanbihul Khawathir 1 : 269.
[168] Al-Khishal, Shaduq 2 : 616 Hadits al-arba’miah.
[169] Nahjul Balaghah : 400/Kitab 31.
[170] Raudhatul Wa’idhin : 490.
[171] Adz-Dzariyat 51 : 58.
[172] Al-Isra` 17 : 31.
[173] Raudhatul Wa’idhin 2 : 454.
[174] Nahjul Balaghah : 124/Khotbah 91.
[175] Al-Irsyad, Syaikh Mufid : 160, Maktabah Bashirati, Qom.
[176] Al-Kafi 5 : 74/2.
[177] Syarah Nahjul Balghah 1 : 7.
[178] Akhlaq Ahlil Bayt a.s. : 143, Darul Kitab Al-Islami.
[179] Nahjul Balaghah : 551/Hikmah 426.
[180] Tsawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal, Syeikh Shaduq : 228 Maktabah Ash-Shaduq, Teheran.
[181] Ibid. : 230.
[182] Kitabut Tauhid, Shaduq : 400, Muassasah An-Nasyrul Islami, Qom.
[183] Tsawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal : 229, Bab Tsawabul Mardlaa.
[184] Al-Bidayah wan Nihayah 1 : 254/1, Dar Ihya`it Turats Al-’Arabi 1408, cet. 1.
[185] Nahjul Balaghah : 526.
[186] Al-An’am 6 : 15.
[187] An-Nazi’at 79 : 40-41.
[188] Kanzul ‘Ummal 3 : 148/5909.
[189] Tuhaful ‘Uqul, Ibnu Syu’bah Al-Harrani : 28, Muassasah Al-A’lami, cet. 5.
[190] Ushulul Kafi, 2 : 68/4, Bab al-khauf war raja`.
[191] Al-Insan 76 : 8-10.
[192] Tuhaful ‘Uqul : 208. Hadis tersebut adalah wasiat Imam Al-Baqir a.s. kepada Jabir Al-Ja’fi.
[193] Al-Hasyr 59 : 19.
[194] Yusuf 12 : 53.
[195] An-Nisa` 4 : 128.
[196] Al-Hasyr 59 : 9.
[197] Nahjul Balaghah : 427/Kitab 53.
[198] Ibid. : 169/Khotbah 114.
[199] Mizanul Hikmah 1 : 16, diriwayatkan dari Misykatul Anwar.
[200] Nahjul Balaghah : 231.
[201] Mizanul Hikmah 5 : 33, diriwayatkan dari Nuruts Tsaqalain 5 : 291.
[202] Ibid. 10 : 134, diriwayatkan dari Ghurarul Hikam.
[203] Akhlaq Ahlil Bayt a.s., Sayid Mahdi Shadr : 351. Hadits di atas terdapat dalam buku Al-Wafi 3 : 62 diriwayatkan dari Al-Kafi.
[204] Al-Mahajjatul Baidla`, Al-Muhaqqiq Al-Kasyani 8 : 68, Muassasah Al-A’lami, cet. 2.
[205] Nahjul Balaghah : 419.
[206] Wasa`ilusy Syi’ah 16 : 508, Dar Ihya`it Turats Al-’Arabi.
[207] Ibid. 16 : 509.
[208] Az-Zumar 39 : 9.
[209] Kanzul ‘Ummal 3 : 144/5894.
[210] Nahjul Balaghah : 384.
[211] Akhlaq Ahlil Bayt a.s. : 129, Darul Kitab Al-Islami.
[212] Raudhatul Wa’idhin : 285, fi fadla`il Abi Dzar r.a.
[213] Tuhaful ‘Uqul : 66.


BAB IV
PEMBINAAN AKHLAK

Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akan tetapi sebaliknya, akidah-akidah hasil rekayasa manusia berjalan sesuai dengan langkah hawa nafsu manusia dan menanamkan akar-akar egoisme dalam sanubarinya.
Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah saww bersabda:
بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
(Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).[1]
Dalam hadis lain beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada belaiu: “Anugerah apakah yang paling utama yang diberikan kepada seorang muslim?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”.[2]
Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlaknya semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan agama menganggap akhlak sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Dan akhlak mencerminkan sisi perilaku tersebut.
Imam Baqir a.s. berkata:
إِنَّ أَكْمَلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
(Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya).[3]
Seseorang datang kepada Rasulullah saww dari arah muka dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah saww menjawab: ”Akhlak yang mulai”. Kemudian laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kiri dan bertanya: “Apakah agama itu?” Beliau menjawab: “Akhlak yang mulia”. Lalu laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya: “Apakah agama itu?” “Akhlak yang mulia”, jawab beliau untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya lali-laki itu mendatangi beliau dari arah belakang dan bertanya: “Apakah agama itu?” Rasulullah saww menoleh kepadanya dan bersabda: “Apakah kau tidak memahami agama? Agama adalah hendaknya engkau jangan suka marah”.[4]
Amirul Mukminin a.s. berkata:
عُنْوَانُ صَحِيْفَةِ الْمُؤْمِنِ حُسْنُ خُلُقِهِ
(Sifat utama seorang mukmin adalah kemuliaan akhlaknya).[5]
Allamah Thabathaba’i menulis: “Akhlak tidak akan dapat membahagiakan sebuah masyarakat dan mengarahkan manusia untuk memperbaiki amalnya kecuali jika akhlak itu bersandar kepada tauhid. Yaitu keyakinan bahwa alam semesta, termasuk manusia memiliki Tuhan Yang Esa dan abadi yang segala sesuatu tidak tersembunyi dari ilmu-Nya dan tidak ada kekuatan lain yang dapat menundukkan kekuasaan-Nya. Ia mencipatakan segala sesuatu dengan aturan yang terbaik, tidak karena Ia butuh kepadanya. Ia akan membangkitkan mereka kembali dan menghisabnya. Setelah itu, Ia akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik karena perbuatan baik (yang pernah ia kerjakan di dunia) dan menyiksa orang yang berbuat jelek karena kejelekan (yang pernah perbuat di dunia). Kemudian mereka akan kekal dalam nikmat atau siksa.
Dan jelas, jika akhlak berlandaskan kepada akidah semacam ini, maka tugas manusia hanyalah mengharapkan keridlaan Allah dalam segala tingkah lakunya. Taqwa adalah faktor penolak internal bagi manusia dari mengerjakan dosa. Seandainya akhlak tidak bersandarkan kepada akidah ini (akidah tauhid), niscaya tujuan utama manusia dalam setiap tingkah lakunya adalah berfoya-foya dengan kenikmatan dunia yang fana dan tenggelam dalam lautan kehidupan materi.[6]
Akidah-akidah yang memiliki paham Atheisme dengan persepsinya yang memusnahkan rasa ketergantungan manusia kepada Penciptanya yang maha sempurna dan rasa bertanggungjawab kepada-Nya, sebenarnya akidah-akidah tersebut telah memusnahkan satu sumber utama nilai-nilai akhlak (dalam kehidupan manusia), dan ia tidak akan mampu menemukan sumber lain sekuat sumber itu sebagai gantinya.
Akhlak adalah satu kebutuhan vital masyarakat. Akhlak adalah pengaman dari berkobarnya api kejahatan yang sudah lama tersimpan dalam diri manusia. Atas dasar ini, membangun sebuah masyarakat tanpa didukung oleh tuntunan-tuntunan akhlak bagaikan membangun sebuah bangunan di atas tumpukan pasir.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
لَوْ كُنَّا لاَ نَرْجُوْ جَنَّةً وَلاَ نَخْشَى نَارًا وَلاَ ثَوَابًا وَلاَ عِقَابًا، لَكَانَ يَنْبَغِيْ لَنَا أَنْ نَطْلُبَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ، فَإِنَّهَا مِمَّا تَدُلُّ عَلَى سَبِيْلِ النَّجَاحِ
(Apabila kita tidak mengharap surga dan tidak takut neraka, dan tidak mengharap pahala dan siksa, maka sepatutnya kita mencari akhlak yang mulia. Karena akhlak mulia dapat menunjukkan kepada kita jalan keselamatan).[7]

Metode Akidah dalam Membentuk Manusia Berakhlak

Akhlak memperoleh perhatian khusus dalam ajaran-ajaran akidah Islam. Dengan ini, dalam usaha membentuk manusia berakhlak mulia dan terselamatkan dari dekadensi moral, akidah mengikuti metode-metode yang beraneka ragam demi mencapai hal itu. Metode-metode tersebut antara lain:

1. Menjanjikan Pahala Ukhrawi bagi Orang yang Berakhlak Mulia.
Akidah menjanjikan pahala yang besar dan derajat yang tinggi di akhirat kelak bagi orang yang berakhlak mulia, dan siksa yang pedih bagi orang yang berakhlak tidak terpuji dan menyembah hawa nafsunya.
Rasulullah saww bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ عَظِيْمَ دَرَجَاتِ اْلآخِرَةِ وَشَرَفِ الْمَنَازِلِ وَإِنَّهُ لَضَعِيْفُ الْعِبَادَةِ
(Seorang hamba dengan akhlaknya yang mulia bisa mencapai derajat akhirat yang agung dan tempat yang mulia kendatipun sedikit ibadahnya).[8]
Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
إِنَّ حَسَنَ الْخُلُقِ يَبْلُغُ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
(Orang yang berakhlak terpuji dapat menyamai derajat orang yang berpuasa dan shalat malam).[9]
Beliau berwasiat kepada Bani Abdul Muthalib:
يَا بَنِي عَبدِ الْمُطَّلِبِ، أَفْشُوا السَّلاَمَ وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَطَيِّـبُوا الْكَلاَمَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
(Wahai Bani Abdul Muthalib, sebarkanlah salam, sambunglah tali kekerabatan, berilah makan (kepada orang-orang fakir) dan bertutur katalah yang baik, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat).[10]
Beliau juga bersabda:
إِنَّ الْخُلُقَ الْحَسَنَ يُمِيْثُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا تُمِيْثُ الشَّمْسُ الْجَلِيْدَ
(Akhlak yang terpuji dapat mencairkan kejelekan sebagaimana matahari mencairkan es).[11]
Imam Ash-Shadiq a.s. juga berkata: “Sesungguhnya Allah SWT akan memberikan pahala kepada hambanya karena akhlaknya yang terpuji seperti Ia memberi pahala kepada seorang mujahid di jalan Allah”.[12]
Perlu disinggung di sini bahwa terdapat hubungan yang erat antara dikabulkannya amal seseorang secara umum dan ibadahnya secara khusus dengan akhlak. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww mendengar seorang perempuan yang berpuasa dan mencela tetangganya. Kemudian Rasulullah saww mengundangnya makan. Ketika mereka sudah duduk di samping hidangan, beliau berkata kepadanya: “Makanlah!” “Saya sedang berpuasa”, jawab perempuan itu singkat. Beliau berkata kepadanya: “Bagaimana engkau berpuasa sedang engkau mencela tetanggamu?”[13]

2.Menjelaskan Efek-efek Duniawi Akhlak.
Seseorang yang berakhlak terpuji akan mampu beradaptasi dengan sesamanya, hidup bahagia, tentram dan melangkah dengan mantap. Adapun orang yang tidak memiliki nilai dan prinsip-prinsip moral, ia akan jatuh dalam jurang kegelapan, hidup dalam kecemasan dan kebingungan sehingga dirinya tersiksa, tidak disenangi oleh sesamanya dan akhirnya akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan yang tidak memiliki akibat yang terpuji.
Rasulullah saww bersabda:
حُسْنُ الْخُلُقِ يُثَبِّتُ الْمَوَدَّةَ
(Akhlak yang terpuji dapat melanggengkan kecintaan).[14]
Imam Ali a.s. berkata:
... وَفِي سَعَةِ اْلأَخْلاَقِ كُنُوْزُ اْلأَرْزَاقِ
(...Dan dalam akhlak yang mulia tersembunyi simpanan-simpanan rizki).[15]
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تُكْرَمَ فَلِنْ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تُهَانَ فَاخْشُنْ
(Jika engkau ingin dihormati, maka berlemah lembutlah dan jika kau ingin dihina, maka bersikaplah kasar).[16]
Dalam sebuah hadis lain beliau berkata:
اَلْبِرُّ وَ حُسْنُ الْخُلُقِ يُعَمِّرَانِ الدِّيَاَر وَ يَزِيْدَانِ فِي اْلأَعْمَارِ
(Perilaku baik dan akhlak yang mulia dapat memakmurkan sebuah negeri dan manambah umur).[17]
Dan sebaliknya, akhlak yang tidak terpuji memiliki efek-efek negatif yang dapat dirasakan oleh manusia di dunia ini.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata:
مَنْ سَاءَ خُلُقُهُ عَذَّبَ نَفْسَهُ
(Barang siapa yang berperilaku jelek, ia telah menyiksa dirinya).[18]
Sufyan Ats-Tsauri ketika meminta nasehat dari beliau, beliau berkata kepadanya:
لاَ مُرُوْءَةَ لِكَذُوْبٍ، وَلاَ رَاحَةَ لِحَسُوْدٍ، وَلاَ إِخَاءَ لِمَلُوْلٍ، وَلاَ خُلَّةَ لِمُخْتَالٍ، وَلاَ سُؤْدُدَ لِسَـيِّئِ الْخُلُقِ
(Tiada kejantanan bagi pendusta, tiada ketentraman bagi penghasud, tiada persaudaraan bagi orang yang tidak sabar dan cepat bosan, tiada persahabatan bagi orang yang sombong dan tiada kedudukan tinggi bagi orang yang berakhlak tidak terpuji).[19]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa akidah dengan menjelaskan efek-efek positif akhlak yang terpuji, baik di dunia maupun di akhirat, mendorong manusia agar menghias diri dengan akhlak yang terpuji, dan sebaliknya, dengan menjelaskan efek-efek negatif akhlak yang tidak terpuji, baik di dunia maupun di akhirat, ia melarangnya untuk menghiasi diri dengan akhlak yang tidak terpuji itu.

3.Memberikan Nasehat dan Wejangan.

Dalam hal ini, akidah - melalui referensi-referensi pengetahuannya - memberikan wejangan-wejangan berguna yang dapat menanamkan benih-benih akhlak mulia dalam diri manusia dan membasmikan segala norma dan akhlak yang tidak terpuji dari sanubarinya.
Diriwayatkan dari kitab ‘An-Nubuwah’ dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saww bersabda:
أَنَا أَدِيْبُ اللهِ وَعَلِيٌّ أَدِيْبِـي، أَمَرَنِي رَبِّي بِالسَّخَاءِ وَالْبِرِّ وَنَهَانِي عَنِ الْبُخْلِ وَالْجَفَاءِ، وَمَا مِنْ شَيْئٍ أَبْغَضُ إِلَـى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْبُخْلِ وَسُوْءِ الْخُلُقِ، وَإِنَّهُ لَيُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ
(Aku adalah didikan Allah dan Ali didikanku. Tuhanku memerintahkanku untuk berbuat derma dan kebajikan, dan melarangku dari kikir dan berperangai kasar. Suatu yang paling dibenci oleh Allah adalah kekikiran dan akhlak yang tidak terpuji. Sesungguhnya hal itu akan merusak amal seseorang sebagaimana cuka merusak madu).[20]
Imam Ali a.s. berkata:
رَوِّضُوْا أَنْفُسَكُمْ عَلَـى اْلأَخْلاَقِ الْحَسَنَةِ، فَإِنَّ الْعَبْدَ الْمُسْلِمَ يَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
(....Latihlah dirimu untuk berakhlak yang terpuji, karena seorang hamba muslim dengan akhlaknya yang mulia itu dapat mencapai derajat orang yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam).[21]
Beliau juga berkata dalam sebuah wasiat beliau:
عَوِّدْ نَفْسَكَ السِّمَاحَ وَتَخَيَّرْ لَهاَ مِنْ كُلِّ خُلُقٍ أَحْسَنَهُ، فَإِنَّ الْخَيْرَ عَادَةٌ
(Biasakanlah dirimu untuk memaafkan (orang lain), dan pilihlah yang terbaik dari segala perilaku yang ada untuk dirimu. Karena (ingin mengerjakan) kebaikan itu (timbul dari) kebiasaan).[22]
Beliau juga berkata: “... Hendaknya kalian berakhlak yang mulia, karena akhlak yang mulia adalah keagungan. Dan janganlah kalian berakhlak yang tidak terpuji, karena akhlak yang tidak terpuji itu akan merendahkan orang yang mulia dan menghancurkan keluhuran”.[23]
Dari hadis-hadis di atas, kita dapat kita tarik kesimpulan bahwa akidah telah memberikan nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan berharga dengan ditopang oleh data dan bukti-bukti yang cukup kuat demi terwujudnya satu dinding kokoh dalam diri manusia yang dapat mencegahnya dari terhempas ke dalam jurang akhlak yang tidak terpuji.




4.Menampilkan Suri Teladan yang Ideal.

Ini adalah salah satu metode akidah dalam mendidik dan membina manusia menjadi seorang yang berakhlak terpuji. Metode ini secara langsung menghadapkan setiap individu kepada satu suri teladan ideal dan sempurna, yang secara tidak langsung ia akan terpengaruh oleh akhlak dan perilakunya.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”.[24]
Hal ini dikarenakan sejarah hidup Rasulullah saww merupakan cerminan sejati dan sempurna dari risalah yang telah beliau emban. Oleh karena itu, jika Rasulullah saww - sebagaimana dijelaskan oleh Alquran - mencerminkan puncak akhlak yang terpuji, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”[25], maka wajib bagi muslimin untuk mempelajari akhlak beliau dan mengikutinya semampu mereka.
Rasulullah saww sendiri memperoleh tuntunan akhlak dari Allah SWT. Seperti firman-Nya kepada beliau:
خُذِ الْعَفْوَ وَاْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
(Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh).[26]
Diriwayatkan, ketika ayat yang mencakup semua akhlak yang mulia ini turun, Rasululllah saww bertanya kepada Jibril tentang maksud ayat tersebut. Jibril berkata: “Aku tidak tahu. Aku akan bertanya kepada Dzat Yang Maha Tahu”. Kemudian Jibril mendantangi beliau seraya berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk memaafkan orang-orang yang menzalimimu, memberi kepada orang-orang yang enggan memberimumu dan menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang yang memutuskan hubungan denganmu”.[27]
Rasulullah saww mengajak manusia untuk menghias diri dengan akhlak yang mulia, seperti rendah hati (tawadhu’), dermawan, amanat, malu, menepati janji dan lain-lainnya. Sebagaimana juga beliau mencegahnya untuk berakhlak yang tidak terpuji, seperti kikir, rakus, tipu daya, khianat, sombong, berbohong, dengki dan ghibah. Demikianlah beliau bekerja keras untuk memperbaiki setiap perilaku yang tidak terpuji. Dalam hal ini terdapat bukti-bukti yang sangat banyak sekali, akan tetapi kita tidak bisa membahasnya secara keseluruhan karena sedikitnya kesempatan.
Imam Ali a.s. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saww makan di atas tanah, duduk seperti duduknya hamba, menjahit sepatu dan menambal pakainnya dengan tangannya sendiri”.[28]
Rasulullah saww sebagai lambang terbesar akidah Islam, sangat menginginkan setiap manusia mendapat petunjuk ke jalan yang lurus. Karena proses pembinaan peradaban manusia akan sia-sia jika tidak diserati dengan pengarahan dan petunjuk. Ahlul Bayt a.s. adalah lambang petunjuk yang abadi bagi umat ini.
Amirul Mukminin a.s. berkata: “Ketahuilah, keluarga Muhammad saww laksana bintang-bintang yang bertebaran di langit. Jika satu bintang hilang, akan muncul bintang yang lain”.[29]
Hidayah sebagai jembatan yang dapat mengantarkan manusia menuju ke keselamatan, merupakan tujuan hidup seorang muslim. Dengan ini kita dapat memahami arti yang dalam dan perumpaan yang indah yang terdapat dalam hadis Rasulullah saww di bawah ini:
إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ، وَإِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ مَثَلُ بَابِ حِطَّةَ فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ مَنْ دَخَلَهُ غُفِرَ لَـهُ
(Ahlul Baytku bagi kalian bak perahu Nabi Nuh. Barangsiapa yang menumpanginya, ia akan selamat dan barang siapa yang tertinggal, ia akan tenggelam. Dan Ahlul Baytku laksana pintu Hittah (pintu pengampunan dosa) bagi Bani Israil. Barang siapa yang memasukinya, ia akan diampuni).[30]
Ringkasnya, Ahlul Bayt a.s. mempunyai peranan yang besar sekali dalam membina seorang muslim, menyelamatkannya dari berbagai dekadensi dan kesesatan, dan mengantarkannya menuju keselamatan.
Amirul Mukminin a.s. berkata:
اُنْظُرُوْا أَهْلَ بَيْتِ نَبِيِّكُمْ، فَالْزَمُوْا سِمَتَهُمْ وَاتَّبِعُوْا أَثَرَهُمْ، فَلَنْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ هُدًى وَلَنْ يُعِيْدُوْكُمْ فِي رَدًى
(Lihatlah Ahlul Bayt Nabimu, berpegang teguhlah dengan perangai mereka dan ikutilah jejak mereka. Karena mereka tidak akan mengeluarkanmu dari jalan kebenaran dan mengembalikanmu ke jalan kesesatan).[31]
Beliau juga berkata: “Kami adalah tempat bersandar yang tegak berdiri di tengah. Setiap orang kembali kepada kami”.[32]
Para imam suci a.s. telah mengikuti langkah dan sunnah Nabi saww dalam melakukan perombakan peradaban, menyebarkan dan mengokohkan akhlak yang mulia, dan mencegah memasyarakatnya akhlak yang tercela. Mereka lebih mementingkan untuk menghias diri mereka dengan akhlak yang luhur daripada menghiasnya dengan pakaian yang bagus. Mereka adalah suri teladan bagi kita dalam setiap sikap dan perilaku.
Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Imam Ali as berkhotbah di hadapan masyarakat dengan memakai pakaian yang kasar dan tebal serta ditambal dengan kain yang terbuat dari bulu domba. Lalu ada sebagian sahabat yang protes terhadap hal itu. Beliau berkata: “Supaya hati khusyu’ dan diteladani oleh mukminin”.[33]
Seseorang yang mau mengkaji akan mendapatkan bahwa akhlak menempati kedudukan yang penting dalam peninggalan-peninggalan Ahlul Bayt a.s., seperti Nahjul Balaghah, Shahifah Sajjadiah dan lain-lainnya. Hal ini dikarenakan akhlak mempunyai peranan yang penting dalam membina dan mendidik manusia.
Jarrah Al-Mada`ini berkata: “Abu Abdilllah a.s. pernah berkata: `Maukah kamu jika aku beritahukan kepadamu akhlak-akhlak yang mulia? (Akhlak-akhlak yang mulia) adalah memaafkan orang lain, menolongnya dengan harta dan banyak berzikir kepada Allah`”.[34]
Meskipun Ahlul Bayt a.s. selalu berusaha untuk mencegah segala penyimpangan moral, mereka juga berusaha untuk menutupi aib-aib orang lain dan tidak memanfaatkannya untuk mengeksposnya di hadapan khalayak ramai. Di antara wasiat Amirul Mukminin a.s. kepada Malik Al-Asytar ketika beliau menobatkannya menjadi gubernur Mesir:
وَلْيَكُنْ أَبْعَدُ رَعِيَّتِكَ مِنْكَ وَ أَشْنَأُهُمْ عِنْدَكَ، أَطْلَبَهُمْ لَمَعَائِبِ النَّاسِ، فَإِنَّ فِي النَّاسِ عُيُوْبًا الْوَالِـي أَحَقُّ مَنْ سَتَرَهَا، فَلاَ تَكْشِفَنَّ عَمَّا غَابَ عَنْكَ مِنْهَا، فَإِنَّمَا عَلَيْكَ تَطْهِيْرُ مَا ظَهَرَ لَكَ ... فَاسْتُرِ الْعَوْرَةَ مَا اسْتَطَعْتَ ...
(Jauhilah setiap orang dari rakyatmu yang selalu mencari aib orang lain dan anggaplah bahwa ia adalah orang yang paling buruk yang hidup dengan rakyatmu. Karena setiap manusia pasti mempunyai aib dan kekurangan. Seorang pemimpin sepatutnya yang harus menutupinya. Maka, janganlah engkau berusaha untuk menyingkap aib orang lain yang selama ini belum tampak bagimu. Akan tetapi, sucikanlah (Baca: tutupilah) aib yang terlanjur tampak bagimu. ... Oleh karena itu, tutupilah aib orang lain semampumu ...).[35]
Ahlul Bayt a.s. dalam hal ini mengikuti metode hikmah dan nasehat yang baik. Imam Husein bin ali a.s. ketika melihat seseorang meng-ghibah saudaranya yang lain, beliau berkata kepadanya: “Wahai gerangan, berhentilah dari mengghibah, karena ghibah itu akan mengekalkan anjing-anjing neraka”.[36]
Seseorang berkata kepada beliau: “Sesungguhnya Fulan menuduh bahwa engkau sesat dan pembuat bid’ah”. Beliau berkata kepadanya: “Engkau telah melanggar tata krama bergaul dengan orang itu ketika engkau berani menukil pembicaraanya kepada kami, dan engkau tidak menunaikan hakku ketika engkau menyampaikan kepadaku dari saudaraku apa yang tidak kuketahui. Ketahuilah, seseorang yang selalu membicarakan aib orang lain, hal itu akan menjadi saksi buruk baginya, dan (jika ia terpaksa harus meneliti aib orang lain), hendaknya ia mencarinya sesuai dengan aib yang dimilikinya, (jangan melebih-lebihkannya)”.[37]
Dan di antara doa-doa beliau a.s.:
اَللَّهُمَّ إِنَّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَيَجَانِ الْحِرْصِ وَسَوْرَةِ الْغَضَبِ وَ غَلَبَةِ الْحَسَدَ وَضَعْفِ الصَّبْرِ وِ قِلَّةِ الْقَنَاعَةِ وَ شَكَاسَةَ الْخُلُقِ ...
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat rakus yang bergejolak, amarah yang berkobar, kedengkian yang menguasai diriku, lemahnya kesabaran, sedikitnya qona’ah dan akhlak yang tercela ...”.[38]


Sistem Pendidikan yang Menakjubkan

Mengikuti (seorang suri teladan) tidak terbatas hanya pada sisi perilaku individu dan sosial saja, akan tetapi hal itu memiliki ruang lingkup yang luas seluas cakrawala kehidupan manusia. Maka, betapa banyak penguasa dan pemimpin dunia yang belajar dari para pencetus sejarah dan pemikiran agung kita (Ahlul Bayt a.s.). Marilah kita tengok bersama peristiwa di bawah ini yang pernah terjadi dalam sejarah kepemimpinan Amirul mukminin a.s., demi mengetahui apa yang terefleksi dari pemimpin teladan dan imam idola ini, dan demi mengetahui apa yang dapat kita ambil pelajaran dari beliau untuk kehidupan kita, baik sisi individu maupun sosialnya.
Pada peristiwa perang Jamal seorang A’rabi berdiri di dekat Amirul Mukminin a.s. seraya berkata: “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau mengatakan bahwa Allah itu satu?” Perawi berkata: “(Mendengar itu) orang-orang yang hadir di tempat itu menyerang A’rabi itu seraya berkata: `Wahai A’rabi, apakah kau tidak melihat bahwa Amirul Mukminin sedang hancur hatinya (Baca: lelah)?`” “Biarkanlah, karena apa yang diinginkan oleh A’rabi ini adalah jawaban yang juga ingin aku sampaikan kepada kalian”, sanggah beliau tegas. Kemudian beliau berkata: “Wahai A’rabi, perkataan yang menyatakan bahwa Allah itu satu dibagi menjadi empat bagian; dua bagian tidak layak bagi Allah dan dua bagian yang lain layak bagi-Nya.
Adapun dua bagian yang tidak layak bagi Allah, pertama, jika seseorang mengatakan Allah itu satu, dan yang ia maksudkan adalah bilangan. Hal ini tidak layak bagi-Nya, karena sesuatu yang tidak mempunyai kedua, tidak layak untuk masuk ke dalam anggota bilangan. Apakah engkau tidak mengetahui, orang yang mengatakan bahwa Allah yang ketiga dari tiga, ia telah kafir?
Kedua, jika seseorang mengatakan bahwa Allah satu dari manusia, dan yang ia inginkan, bahwa Ia adalah nau’ (spesies) dari sebuah jins (genus). Perkataan ini tidak layak bagi-Nya, karena hal itu adalah menyerupakan-Nya (tasybih) dengan selain-Nya. Dan maha suci Allah dari semua itu.
Adapun dua bagian yang layak bagi-Nya, pertama, jika seseorang mengatakan bahwa Allah itu satu yang tidak sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Begitulah Tuhan kita.
Kedua, jika seseorang mengatakan bahwa Allah azza wa jalla ahadiyul ma’na (Maha Esa). Yaitu Ia tidak terbagi, baik dalam wujud, akal dan wahm (hayal). Begitulah Tuhan kita azza wa jalla”.[39]
Sebagai perbandingan, betapa berbeda perlakuan Imam Ali as terhadap A’rabi itu meskipun - sebagaimana yang digambarkan para sahabat - hati beliau sedang hancur akibat fitnah besar yang sedang melanda muslimin di perang Jamal kala itu dengan perlakuan Umar bin Khattab terhadap Al-Ashbagh bin ‘Asal ketika ia bertanya kepada Khalifah Umar tentang ayat-ayat mutasyabih, padahal ia saat itu hidup tenang (tidak perang) di Madinah.
Ibnu Hajar menukil, di zaman kekhalifahan Umar bin Khatab, seorang yang bernama Al-Ashbag bin ‘Asal datang ke Medinah dan bertanya kepadanya tentang ayat-ayat mutasyabih. Maka Umar mengusirnya, memukulnya dengan cambuk hingga kepalanya berdarah, mencegah masyarakat untuk mengadakan hubungan dengannya dan mengasingkannya ke Basrah. Kemudian ia menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, gubernur Basrah kala itu: “Amma Ba’du, sesungguhnya Al-Ashbagh ini telah memaksa untuk mengetahui apa yang telah dilarang dan mengabaikan apa yang telah diperintahkan kepadanya. Apabila suratku ini telah kamu terima, maka janganlah kamu berteman dengannya, jika ia sakit, janganlah kamu jenguk dan jika ia meninggal dunia, jangan kamu menghadiri jenazahnya”.[40]


Ahlul Bayt a.s. adalah Suri Teladan setelah Nabi saww

Ahlul Bayt a.s. adalah salah satu dari dua peninggalan berharga Rasulullah saww kepada umat manusia yang mereka diperintahkan untuk berpegang teguh kepada keduanya dan berjalan seseuai dengan langkahnya.
Rasulullah saww bersabda: “Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian Tsaqalain (dua peninggalan yang berharga) yang selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat setelah aku meninggal: kitab Allah, tali kokoh yang terbentang dari langit ke bumi dan ‘Itrahku, Ahlul Baytku. Ketahuilah, keduannya tidak akan berpisah sehingga bertemu denganku di telaga Haudl kelak).[41]
________________________________________
[1] Kanzul ‘Ummal 11 : 240/31969.
[2] Raudhatul Wa’idhin : 376.
[3] Ushulul Kafi 2 : 99/1, kitab al-iman wal kufr.
[4] Al-Mahajjatul Baidla` 5 : 89.
[5] Tuhaful ‘Uqul : 200.
[6] Al-Mizan fi Tafsiril Quran, 11 : 157, Muassasah Al-A’lami, cet. 2.
[7] Mustadrakul Wasa`il 2 : 283.
[8] Al-Mahajjatul Baidla` 5 : 93.
[9] Irsyadul Qulub 1-2 : 133.
[10] Ibid.
[11] Ushulul Kafi 2 : 100/7, kitab al iman wal kufr.
[12] Ibid. 2 : 101/12.
[13] Al-Akhlaq, Sayyid Abdullah Syubbar : 70, Maktabah Bashirati, Qom.
[14] Tuhaful ‘Uqul : 38.
[15] Ibid. : 98.
[16] Ibid. : 356.
[17] Ushulul Kafi 2 : 100/8, kitab al iman wal kufr.
[18] Ibid. 2 : 321/4.
[19] Fi Rihab A`immah Ahlil Bayt a.s., Sayid Muhsin Al-Amin 4 : 69. Hadis tersebut diriwayatkan dari kitab Tuhaful ‘Uqul.

[20] Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 17.
[21] Al-Khisal, Shaduq 2 : 621, hadis al-arba’miah.
[22] Biharul Anwar 77 : 213. Hadis tersebut diriwayatkan dari kitab Kasyful Mahajjah li Tsamrah al-Mahajjah : 153, Pasal 154, cet. An-Najaf Al-Asyraf.
[23] Ibid. 78 : 53. Hadis tersebut diriwayatkan dari Al-Ghurar wad Durar, tulisan Al-Amudi.
[24] Al-Ahzab 33 : 21.
[25] Al-Qalam 68 : 4.
[26] Al-A’raf 7 : 199.
[27] Majma’ul Bahrain, Thabarsi 3 : 89, Maktabah Al-Hayah, 1980 M.
[28] Nahjul Balaghah : 228/Khotbah 160.
[29] Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid 7 : 84.
[30] Al-Muraja’at, Sayid Abdul Husain Syarafuddin : 23, al-muraja’ah ats-tsaminah. Di catatan kaki no. 37, hadis tersebut diriwayatkan oleh Thabarani dari Abi Sa’id.
[31] Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid 7 : 76.
[32] Ibid. 18 : 273.
[33] Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 113.
[34] Ma’anil Akhbar, Shaduq : 191.
[35] Nahjul Balaghah : 429/Kitab 53.
[36] Tuhaful ‘Uqul : 176, Muassasah Al-A’lami, cet. 5.
[37] Al-Ihtijaj, Thabarsi 1-2 : 315, Muassasah Al-A’lami cet. 1401 H.
[38] Ash-Shahifah As- Sajjadiah Al-Jami’ah : 69, Muassasah Imam Mahdi a.s., Qom, cet. 1.
[39] Al-Khisal, Syeikh Shaduq : 2/bab al-wahid, cet. Jamaah Mudarrisin, Qom. Dan Ma’anil Akhbar : 5/bab ma’nal wahid.
[40] Al-’Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Ibnu Hajar Al-’Asqalani 2 : 198, Dar Ihya`it Tusrats Al-’Arabi, cet. 1, tahun 1328 H.
[41] Bihar Anwar 23 : 106; Kanzul ‘Ummal 1 : 172. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahlus Sunnah dan Syi’ah melalui jalur yang beraneka ragam.



KESIMPULAN

Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat membina setiap individu muslim sehingga memandang alam semesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid dan melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif Islam mengenai berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam dirinya.
Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu’jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.
Demi membina setiap individu muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang sumbangsih-sumbangsih akidah yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan meyakinkannya akan validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.
Kita bisa menyimpulkan peranan penting akidah dalam membina manusia di berbagai sisi dan dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut :

1. Dalam Sisi Pemikiran.
Akidah menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat. Atas dasar ini, akidah meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan tidak membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya
Akidah telah berhasil memerdekakan manusia dari penindasan politik para penguasa zalim dan membebaskannya dari tradisi menuhankan manusia lain.
Akidah juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu dengan hukum-hukum syariat, penghambaan kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan kekacauan.
Begitu juga, akidah telah berhasil membebaskannya dari jeratan hawa nafsu, menyembah fenomena-fenomena alam di sekitarnya dan dongengan-dongengan yang tidak benar.
Melalui proses pembebasn pemikiran ini, akidah melakukan proses pembinaan manusia. Ia memberikan kedudukan yang layak kepada akal, mengakui peranannya dan membuka cakrawala pemikiran yang luas baginya. Di samping itu, akidah juga membuka jendela keghaiban baginya, membebaskannya dari jeratan ruang lingkup indra yang sempit dan mengarahkan daya ciptanya yang luar biasa untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di segenap cakrawala raya dan diri mereka, serta menjadikan renungan (tafakkur) ini sebagai ibadah yang paling utama.
Tidak sampai di situ saja, akidah juga mengarahkan daya akal untuk menyingkap rahasia-rahasia sejarah yang pernah terjadi pada umat dan bangsa-bangsa terdahulu, dan merenungkan hikmah yang tersembunyi di balik syariat guna mengokohkan keyakinan muslim terhadap syariat dan validitasnya untuk setiap masa dan tempat.
Dari sisi lain, akidah mendorong manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengikat ilmu pengetahuan itu dengan iman. Karena memisahkan ilmu pengetahuan dari iman akan menimbulkan akibat jelek.
Akidah juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalam hal itu.

2. Dalam Sisi Sosial.
Akidah telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat Jahiliah hanya mementingkan diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal akidah, mereka relah mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial.
Akidah telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan manusia akan kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan umum dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.
Akidah telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu dengan cara-cara berikut: menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan orang lain, menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap individu muslim untuk hidup bersama.
Dari sisi lain, akidah telah berhasil merubah tolok ukur hubungan sosial antar anggota masyarakat, dari tolok ukur hubungan sosial yang berlandaskan fanatisme, suku, warna kulit, harta dan jenis kelamin menjadi hubungan yang berlandaskan asas-asas spiritual. Yaitu takwa, fadhilah dan persaudaraan antar manusia.
Akidah telah berhasil merubah kondisi pertentangan dan pergolakan yang pernah melanda masyarakat insani menjadi kondisi salang mengenal dan tolong menolong. Dengan ini, mereka menjadi sebuah umat bersatu yang disegani oleh bangsa lain.
Di samping itu, akidah Islam juga telah berhasil merubah tradisi-tradisi Jahiliah yang menodai kehormatan manusia dan menimbulkan kesulitan.

3. Dalam Sisi Kejiwaan.
Akidah dapat mewujudkan ketenangan dan ketentraman bagi manusia meskipun bencana sedang menimpa.
Dalam hal ini akidah telah menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan bencana-bencana itu di mata manusia. Di antara cara-cara tersebut adalah menjelaskan kriteria dunia;bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana dan derita yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk mencari kesenangan dan ketentraman di dunia ini.
Atas dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam ujian Allah di dunia.
Dan di antara cara-cara tersebut adalah akidah menegaskan bahwa setiap musibah pasti membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang adalah musibah yang menimpa agama.
Dari sisi lain, akidah juga membebaskan jiwa manusia dari segala ketakutan yang dapat melumpuhkan aktifitas, membinasakan kemampuan dan menjadikannya cemas dan bingung.
Begitu juga akidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa tanpa itu, sulit baginya untuk dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat mengenal Allah secara sempurna.
Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penyakit-penyakit jiwa yang berbahaya seperti fanatisme, rakus dan egoisme jika tidak diobati, akan menimbulkan akibat-akibat sosial dan politik yang berbahaya, seperti fitnah yang pernah menimpa muslimin di Saqifah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ali a.s.

4. Dalam Sisi Akhlak.
Akidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan bukan hanya sekedar wejangan yang tidak menuntut tanggung-jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran pemikiran hasil rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh Allah dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dari kehidupan manusia. Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari.
Demi mendorong masyarakat berakhlak terpuji dan meninggalkan akhlak yang tidak mulia, akidah mengikuti bermacam-macam metode dalam hal ini:
pertama, menjelaskan efek-efek uhkrawi dan duniawi dari akhlak yang terpuji dan tidak terpuji.
Kedua, memperlihatkan suri teladan yang baik kepada mereka dengan tujuan agar mereka terpengaruh oleh akhlaknya yang mulia dan mengikuti langkahnya.

Ar-Risalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salamat menjelajahi blog saya jgn lupa komentarx oke...trimakasih atas kerjasamax.